Lingkaran Itu tak Bersudut

Selasa, 18 Januari 2011

Tragedi Ilmu Dalam Pengkotakan Ekstreme


Tragedi Ilmu Dalam Pengkotakan Ekstreme
Sebagai ilmu, maka geografi pun turut memeriahkan kancah ke-ilmuan di bumi ini. Adapun puncak dari kuantitas ilmu geografi tentu pelaku ahli mampu mempelajari-memahami tentang lokasi serta persamaan dan perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi. Tidak hanya sebatas puncak kuantitas saja, ilmu geografi pun mesti juga harus mampu membuktikan puncak kualitasnya. Tentu saja sebagai ilmu-rasional maka ada pembuktian dengan memecahkan persoalan yang terkait dengan keruangan atas fenomena fisik manusia di atas bumi ini. Sebagaimana manfaat dari terbentuknya ilmu itu mesti ada di bumi ini : mampu membantu manusia memecahkan masalah untuk memberi solusi terbaik bagi kesejahteraan manusia. 

Tentu tidak hanya geografi semata yang memiliki tugas seberat itu. Psikologi, Sosiologi,Biologi,morfhologi,fisikalogi,kimialogi,kosmologi,hingga bentuk logi-logi lainya yang pengejewantahan dari kata logos (bahasa yunani) yang artinya ilmu-rasionalitas. Secara legal, ilmu yang menyandang gelar logi-logos dan semacamnya yang mengarah pada makna rasionalitas maka bisa dikatakan bahwa ilmu yang diakui di bumi ini adalah sesuatu yang memiliki sistematika berfikir secara logis-rasional. Untuk urusan seperti ilmu hitam dan sekawanya ibarat virus yang hendak mengoroti makna agung ilmu itu sendiri.
Masih terkait dengan ilmu, maka ilmu bisa diibaratkan seperti peta perjalanan,kompas dan perbekalan lainya ketika harus menyisir hutan rimba yang tiada ujung akhirnya. Manusia tentu setuju, jika kehidupan ini seperti menyisir perjalanan yang berliku, berkelok,bertemu hutan rimba, sungai, danua, pantai, teluk, semanjung hingga samudra luas. Semua perjalanan itu memiliki makna yang sama: Perjuangan untuk sampai tempat tujuan. Maka tentu kita setuju, jika hanya manusia bodoh yang hanya melengang kangkung begitu saja tanpa bekal apa-apa untuk menghalau ombak besar, untuk menyisir gulma-gulma yang kadang lebih tinggi dari tinggi badan manusia, untuk mencari arah yang tepat,jalan yang mempermudah badan untuk melaluinya.
Hal yang menarik tentang perumpamaan itu adalah ilmu. Dengan ilmu yang diibaratkan seprti kompas, peta perjalanan, berbekalan maka tentu saja betapa pentingnya ilmu itu. Dengan ilmu rupanya manusia bisa mempertahankan hidupnya terhadap gejolak kehidupan yang kadang lebih rumit dari mencari arah hutan rimba tanpa atap langit, lebih besar daripada ombak besar yang menerjang perahu layar, lebih payah dari hanya tanjakan lembah yang menjulang. Ilmu pun bisa dikatakan seperti firman Alloh untuk menuntun manusia ke arah jalan yang benar. Betapa hebatnya fungsi ilmu itu ada di bumi ini, hingga cabangnya pun jauh lebih rumit dibandingkan kehidupan manusia itu sendiri.

Psikologi misalnya, ilmu yang mempelajari ilmu pengetahuan perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya pun adalah hasil percabangan dari ilmu sebelumnya. Tumbuhnya cabang ilmu, membuktikan bahwa betapa komplit dan rumitnya sistematika ilmu itu sendiri. Tumbuhnya terus saja seperti pohon yang akarnya kuat menghujam bumi, yang batangnya kokoh, daunya hijau berseri.
Dan untuk memudahkan manusia  mempelajarinya, maka pilih saja salah satu yang mampu diasah untuk dikembangkan menjadi ahli. Tak perlu rakus untuk bisa mengunyah semua ilmu di bumi ini, meski ilmu itu sendiri sangat berharga maka bukan orang yang “berilmu” yang hanya sekedar melahap ilmu sebanyak-banyaknya tanpa mampu menjadi ahli terhadap apa yang ditekuninya.
Menjadi ahli dalam salah satu cabang ilmu lebih baik kiranya jika mampu memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Cara kerja fokus adalah salah satu ciri orang “berilmu”. Fokus adalah mengarah pada titik dimana ia ingin mengabdikan hidupnya berdasarkan ilmu. Fokus sendiri bukan berarti bentuk pemilahan yang ekstrem, dan lagi-lagi bukan orang yang “berilmu” yang memilih hanya berdasarkan kesenangan, keegosian yang tinggi hingga idealisme yang tersesat.  Hati-jiwa pun perlu di beri ilmu. That is kebijakan, fikiran sendiri pun sebelumnya perlu di isi dengan ilmu, that is kejernihan. Maka dengan modal filter itulah, manusia bisa mampu menghantarkan dirinya pada manfaat ilmu itu untuk kesejahteraan kehidupan manusia.
Pembatasan ilmu berdasarkan rasionalitas memang bukan standart mutlak bahwa ilmu dengan sistematika rasionalitas adalah ilmu yang memang paling terjamin kebenarnya. Untuk urusan kebenaran sendiri pun memang menjadi perdebatan antara para ahli ilmu sendiri. Untuk zaman sekarang, jangan heran jika penemuan antara ahli di cabang ilmu yang sama terjadi perdebatan satu sama lain. Suni-Syiah misalnya, hingga saat ini kedua kubu berdasarkan ilmu masing-masing menyatakan paling benar satu sama lain, dan menyalahan satu sama lain. Lantas apa yang salah dengan sistem perdebatan itu? Kiranya memang hal yang wajar untuk perkara itu sendiri, mengingat manusia memang punya jalan dan cara tersendiri dalam menemukan hakikat ilmu yang dipelajari. Jadi tidak mengherankan jika ilmu sendiripun bisa menimbulkan perdebatan,konflik hingga berujung pada bagian permasalahan hidup manusia itu sendiri.
Gerak laju ilmu pun dikatakan memutar, menyelesaikan masalah, namun juga bisa menimbulkan masalah. Lantas apa dasar dari semua itu jika ilmu kehidupan sendiri saja sebenarnya mengalami kelemahan? Disebut kelemahan tatkala ilmu sendiri pun tak sepenuhnya bisa menyelesikan permasalahan kehidupan manusia, bahkan justru mampu mempercikan api masalah bagi kehidupan manusia. Untuk urusan seprti ini, maka membatasi ilmu kehidupan hanya berdasarkan perhitungan logika-rasionalitas bukanlah keputusan yang bijak. Cara berfikir seperti itu yang kini kian merebak seolah hendak meruntuhkan sesuatu yang ada dalam jiwa manusia itu sendiri. Memisahkan satu sama lain, terlalu ekstreme mengambil keputusan pemilahan dan cara fokus yang totol. Maka kita saksikan sekarang, manusia memisahkan ilmu alam dengan firman Tuhan yang jelas-jelas adalah kebenaran dan jelas-jelas ilmu alam pun juga datang dari firman Tuhan. Memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu logos-logos hasil kerja keras manusia sebelumnya untuk membentuk sistematika ilmu menjadi bagian yang mudah untuk dipahami.
Apakah hal itu merupakan kebenaran? Jika ilmu yang sebenarnya datang dari Alloh, di titipkan melalui fenomena alam, melalui partikel-partikel bumi, hingga dalam otak manusia diproses dengan kerja keras. Maka lantas manusia bisa mengatakan angkuh bahwa ilmu itu tiba-tiba datang dari pikiranya, mereka yang mengatas namakan kerja keras hingga pengorbanan menjadikan mereka lupa bahwa ilmu itu sendiri datang tentu tidak dengan sendirinya.
Jika zaman sekarang, ahli agama cukuplah ahli agama, ahli biologi cukuplah ahli biologi, ahli sosiologi, sosiologi sebagai cabang ilmu sosial, teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia cukuplah ahli sosiologi. Maka terlalu aneh bumi ini pada akhirnya, ketika di huni oleh manusia yang terlalu kaku menghadapi kehidupan ini berdasarkn pengkotakan yang eksterem.
Bisa dikatakan, ternyata manusia mudah sekali di taklukan oleh sifat air yang lentur mengalir. Apa jadinya jika manusia menjadi makhluk paling bodoh dengan sistematika kehidupan yang kaku, ekstrem dalam memilih dan antipati.
Yang mampu bersikap bijak mempelajari ilmu kehidupan selamat menikmati cara hidup seperti air yang menyegarkan-seimbang dalam kehidupan. Yang ternyata larut dalam pemikiran eksterem memilih dan antipati selamat merasakan kehausan tiada ujung dalam kehidupan. Bila pun kelak mampu menciptakan serangkain tekhnologi kehidupan, maka berkasih sayang sajalah dengan robot-robotmu, mesin-mesinmu, obat-obatanmu, ceramah-ceramahmu, nuklir-nuklirmu,pundi-pundi hartamu.
Semoga kita termasuk manusia yang mampu berjiwa bijak, berfikir jernih tanpa ke-ekstriman antipati dan memilih. Seimbang dalam kehidupan dengan ilmu tanpa rakus untuk melahap tanpa kekosongan dalam berfikir dan berkarya dengan jiwa dalam naungan pemilik ilmu-Tuhan Alloh SWT.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar