Lingkaran Itu tak Bersudut

Senin, 02 Januari 2012

Bulan, Gunung dan Serigala

Bulan tidak muncul di malam itu. Suara lolongan serigala yang bersahutan seolah memunculkan perkiraan konyol : bulan tidak muncul karena takut akan menjadi santapan serigala yang tengah kelaparan malam itu. Serigala punya sayap, atau apa saja jika ia tengah kelaparan. Ia akan menjangkau apa saja yang kiranya bisa menganjal perut liarnya yang kelaparan. Jika pun ia akan memakan bulan, tumbuhlah sayap di kedua sisi badan kekarnya. Jika ia tengah ingin memakan gunung, maka semakin runcing dan kuatnya taring serta giginya. Apa saja yang bisa ia makan saat lapar, ia pasti bisa menjangkaunya. Sebab itulah, aku mengira dengan yakin jika malam itu bulan tidak muncul karena ia takut akan menjadi mangsa serigala liar itu. 
Bulan terlalu cerdas untuk bisa dimakan begitu saja dengan hewan bergerombol itu. Meski serigala bisa terbang sejauh jangkuan tempat bulan berpendar pada pusat rotasinya. Awan pekat selalu tersembur dari lidahnya untuk membungkusnya rapat-rapat. Menjauh dari jangkuan endusan serigala yang tengah kelaparan. Serigala sendiri, sudah tidak terlalu bernafsu untuk memakan bulan. Karena ia harus membutuhkan semalaman penuh untuk bisa menemukanya di angksa. Bulan memang telalu cerdas untuk urusan meladeni cara ceroboh serigala yang hendak memangsanya.Dan ketika purnama, bulan tahu jika serigala telah terlalu kenyang dan tidak ada pikiran untuk memakanya.
Serigala terlalu bodoh. Lolonganya adalah bentuk kecerobohan dan kebodohan yang sekedar pamer kegagahan. Semua akan lari terlebih dahulu, terlebih bulan. Ia akan dengan cepat membugkus tubuhnya dengan awan. Gunung akan mengeluarkan uap magma panas yang menghasilkan kabut untuk menutupi tubuhnya, menyelimuti dirinya dengan panas yang teramat. Semua akan sembunyi, sebelum akhirnya serigala malam sampai pada tujuanya. Sebab lolonganya adalah kebodohan seorang pemangsa mengincar mangsanya. Maka domba, kerbau,kuda yang tengah terikat oleh pemiliknya tak bisa lari kemanapun. Ketika serigala mendatanginya. Menerkam. Memangsa. Mengoyak tubuhnya. Memakanya.Hingga membuat serigala bisa tertawa karena kenyangnya. Bulan dan gunung menyumbul sedikit di balik awan dan kabut. Melihat serigala yang selalu pandai mengangkat moncong mulutnya keatas tinggi-tinggi kemudian melolong dengan sombong. "Aku telah kenyang".
Serigala bercerita tentan keganasanya, dan serigala juga bercerita bagaimana kebodohanya melolong keras-keras. Dan kita, manusia yang terlena dengan ketakutan hanya mampu berdiri di tempat, meski beberapa waktu setelahnya akan terbirit-birit lari tanpa mengunakan akal pikiran. Kemana akan berlindung di situasi mendesak kala itu. Berlari tanpa tahu tujuan, dan berlari tanpa tahu dimana ia akan mencari perlindungan.

Malam

Lorong yang senyap. Sejauh mata memandang pada selasar bangunan, titik hitam membungkus pada ujung pandangan. Lantai dari susunan keramik menerima seberkas cahaya dari bulan yang malam itu purnama. Terpantul bayangan mengikuti gerak benda yang mencoba menangkapnya. Mengikuti. Seperti gerak pantomim yang mencoba menghibur cahaya. Bulan purnama tak sendiri, ia ditemani dengan ribuan bintang-bintang yang gemerlapan seperti manik-manik di atas kain hitam. Mengkilap.
Cerita malam adalah tentang sunyi, sepi, dingin,kelam, pekat,keburaman, kesamaran,temaram lampu. Apalagi indah dari cerita malam jika sepi adalah tempat mereka melabuhkan hati yang lama berlayar.
Malam adalah cerita kesendirian yang memilukan bagi orang kesepian. Malam tak ubahnya seperti waktu yang mengajaknya berkelahi. Lorong senyap. Gerak jarum jam. Langkah mengedap pencuri. Suara berkelahi kucing. Tikus yang tengah girang berlarian di atap rumah. Malam menyisakan banyak cerita bagi semuanya yang menikmati hidup ini dengan apa adanya. :-)

Hujan dan penerjun payung

               Apalagi yang tengah dibicarakan hujan dengan mendung kelamnya. Jika saja petir yang menyambar mengkilatkan ketakutan yang semakin merekah. Mendung yang bergelayut, mengarak awan hitam yang seolah bersejajar dengan garis horisontal kehidupan. Partikel alam tengah ramai berkumpul, saling berbincang dengan suara tingginya masing-masing. Menghentakan bumi. Menghitam kelamkan siang yang seharusnya cerah dengan matahari. Sepertinya memang hanya suara matahari yang waktu itu tidak terdengar. Petir paling menguasai bunyi. Mendung paling merajai kelam. Panas paling merajai suhu. Matahari tengah tertutup rapat-rapat dengan pekat mendung hitamnya awan. Langit seolah tengah sendu dengan warna hitam pekatnya. Angin berhembus dengan kekuatan penuhnya. Menghempaskan apa saja yang tidak bisa kuat dengan terpaanya. Daun kering yang tampak terlihat menyedihkan dengan hempasan angin. Terjatuh dari pucuk, terhempas, melayang, terhempas, melayang kembali hingga sejauh pohon tempat bergantungnya.
Partikel alam tengah berbicara dengan mendung, petir, angin. Tak lama partikel air mengalir dari sela-sela awan hitam pekat yang akhirnya terjatuh ke bumi. Membasahi kekeringan yang hampir saja menjadi debu berterbangan. Semakin basah. Basah. Menjadi lumpur. Becek. Tak lagi terserap. Air mengenang.
Penduduk bumi ketakutan. Mereka segera mencari kain, tas,panci atau apa saja untuk memasukan pakaian atau harta yang kiranya berharga. Apa saja yang terlihat. Mereka angkat dengan gerak cepat nan kilat. Mereka segera berlari. Air yang mengenang semakin tinggi. 
       Bumi tak lagi mampu menyerap air yang berkompenen sebagai zat cair yang mudah meresap. Lari mereka tak secepat hujan yang terjun ringan dari langit. Lari mereka membawa beban. Sedang hujan turun tanpa sedikitpun beban. Air hujan tanpa parasut. Tidaklah seperti penerjung payung yang harus mengunakan beban untuk turun sempurna ke bumi.
Semua tidak lah sama.Antara penerjun payung dengan air hujan yang sama-sama turun dari tahta angkasa. Semua tak sama. Mereka membawa beban dan tanpa membawa beban. Beban seperti layaknya penahan. Sedang hujan tak lagi bisa ditahan. Ia turun dengan sayap malaikat yang membawa kabar gembira untuk penduduk bumi. Maka berdolah ketika turun hujan. Hujan yang turun tanpa beban dan penahan. Bagaimanapun hujan tahu, betapa berharga air untuk kehidupan di bumi. Hujan sedikitpun tak mau memperlambat diri, yang seolah ia begitu berarti untuk menyombongkan diri. Hujan adalah rizki yang tak perlu di tahan jika langit sudah berkenan. Selayaknya rizki yang manusia harapkan turun tanpa beban dan penahan.
Sedang terjunya pemain terjun payung, belum tahu apa yang hendak ia tuju ketika sudah berhasil mendarat kebumi dengan sempurna. Kepuasaan untuk mencarri kebahagian. Tentu. Karena itulah yang mereka cari. :-)