Lingkaran Itu tak Bersudut

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ibu Harus Pilih, Anak Mana yang Akan Mati


VIVAnews - Perjalanan para pengungsi Somalia menuju negara tetangga untuk mencari makan kadang menghabiskan waktu berhari-hari. Dalam perjalanan, seorang ibu tidak jarang terpaksa meninggalkan anak mereka yang tidak berdaya, demi kelangsungan hidup anak yang lainnya.

Kenyataan pahit ini harus dijalani oleh Wardo Mohamud Yusuf, seorang ibu berusia 29 tahun. Wardo telah berjalan selama dua minggu di tengah terik menuju perbatasan Kenya. Di tempat ini, dia berharap mendapatkan makanan dan minuman di tenda pengungsian yang disediakan negara jiran.

Wardo menggendong anak perempuannya yang berusia satu tahun di punggungnya, sementara anak lelakinya yang berusia empat tahun berjalan bersamanya. Dua minggu berjalan dengan makanan dan minuman yang minim, bocah lelaki malang tersebut ambruk.

Wardo langsung memberikan sedikit minuman yang dia bawa di kepalanya kepada putranya.
Namun, karena tidak sadarkan diri, bocah itu tidak dapat meneguk air untuk menghilangkan dahaga. Wardo berteriak minta tolong, keluarga dan kerabatnya tidak ada yang berhenti. Mereka tetap berjalan, mengkhawatirkan diri mereka sendiri. Akhirnya, Wardo harus memilih. Sebuah pilihan yang ibu manapun pasti sulit melakukannya.
"Akhirnya, saya putuskan untuk meninggalkan dia, menitipkannya kepada Tuhan, di tengah jalan," ujar Wardo ketika diwawancara di kamp pengungsi di Dadaab, Kenya, dilansir dari laman Daily Mail, Jumat, 12 Agustus 2011.
 Kiranya ini menjadi pelajaran bagi berharga bagi kita, manusia di muka bumi. Sekiranya yang masih satu atap langit dengan negeri bernama Somalia. Apa yang dapat kita berbuat? Harta? Jiwa?. Apa saja, semampu kita. Jangan sampai kita menjadi manusia paling bedebah ketika tahu, melihat, mendengar semua berita ini.Bedebah karena kita merasa urusan kita sendiri belum terselesaikan. Bedebah karena kita terlalu sibuk mengurusi urusan kita yang entah sampai kapan akan ada ujung jalanya. Atau barangkali tiada akhir ujung untuk urusan permasalahan kita.
Sering, dan terlalu sering kita mengukur kenikmatan hidup kita dengan melihat dari kebahagiaan, kelebihan orang lain. Kehidupan seputar glamournya dunia menjadi titik fokus utama kita memandang kehidupan ini. Akhirnya kita terlupa dengan sesuatu yang sebenarnya jauh di bawah kita.
Bagi sebagian kita, mungkin setidaknya hanya mampu bersimpati, menguncap doa atau setidaknya berharap penuh kehidupan mereka akan jauh lebih baik lagi. Seharusnya lebih dari itu. Kita harus pandai menjadi makhluk bersyukur atas kehidupan ini. Tau teirma kasih kepada Alloh SWT, Tau diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa. Tau diri sebagi makhluk yang pada akhirnya menginginkan surga sebagai akhirnya. Tau ilmu bahwa syurga didapat bukan sekedar dari ibadah langsung dengan Tuhan. Tau pemahaman bahwa syurga sebagaianya di dapat dari pengabdian, rasa kasih pada sesama.
Tiada yang membedakan kita dengan orang-orang Somalia, orang-orang Irak, orang-orang Afganistan dan orang-orang lainya yang mungkin kita anggap sebelah mata dibanding cara memandang kita kepada orang-orang yang menurut kita lebih tinggi derajatnya.
Kita tak pernah tahu, dimana kunci syurga kita. Kita tahu dan tidak sebenar-benarnya tahu segalanya...salam