Lingkaran Itu tak Bersudut

Minggu, 17 April 2011

Kapal Untuk Dia Berlayar

 
Selayaknya dirinya telah pergi dari daratan. Berlayar menunggangi kapal. Maka ia kini tengah berlayar di lautan. Mengarungi samudera untuk menuju pelabuhan. Jika harus menghadapi bajak laut, jadikan ia seperti Umar bin Khotob yang tangguh. Jika ada gelombang,kokohan layar dan badan kapal. Kupercaya, kapalnya cukup tangguh untuk sampai ke tujuan. Ku yakin bekalnya cukup untuk perjalananya. Dan sebagaimana ku imani, Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambaNya.
Sungguh ku menangis dalam kehilangan. Kulepas dia berlayar ke arah kiblat.
        Sebagaimana orang hendak pergi jauh. Lelaki itu pun begitu detail menyiapkan segala sesuatunya. Begitu sibuk tiap waktunya. Dari pagi sebelum matahari menyingsing hingga malam menjelang. Lelaki itu terus bekerja. Menyiapkan bekal yang entah mau berapa beban yang akan dibawanya. Dari mulutnya, ia terus berbicara tentang petuah nasehat kebajikan.  Menyisipkan bentuk kata amanat untuk orang-orang yang dicintainya. Selayaknya ia hendak pergi mengarungi samudera. Ia tengah menyelesaikan kapal untuk mengusung bekal perjalananya. Untuk memuat bekal yang banyak, maka lelaki itu tengah berusaha menyelesaikan kapal seperti bahtera nabi Nuh. Kayu paling kuat ia pilih untuk badan kapal, rajutan benang paling kuat dijadikanya layar terkokoh. Tenaga yang kuat untuk menautkan tali. Menguatkan pemasangan badan kapal. Lelaki itu, tengah berfikir keras untuk mengukur kapalnya. Menimang bekal yang akan dimuatnya. Menghitung-hitung bekal yang akan dibawanya. Apakah cukup.
Setiap malam terdengar tangisnya. Mengadu pada Tuhan. Dimana sebelumnya ia telah mengakui kelalainya selama itu. Kenapa saat suara telah memanggilnya untuk bersiap pergi. Lelaki itu baru sadar akan perahu dan bekal untuk berlayar ke samudera tak berair asin.
     Kesedihan lelaki itu memuncak. Ketika suara itu terus mengema. Mengingatkan terus tentang kapal yang belum juga rampung. Tentang bekal yang masih begitu sedikit. Lelaki itu mengadu pada Tuhan, meminta penangguhan. Jika pun tidak bisa ia minta diberi kelongaran untuk bisa menyelesaikan kapal dan bekal-bekalnya tepat pada waktunya.
Pagi menyingsing. Selalu terdengar suara palu bertaut dengan paku. Lelaki itu tengah berusaha sekuat tenaga mengarap kapal tepat pada waktunya. Siang yang dijanjikan oleh Tuhan untuk mencari rizky ia pergunakan dengan untuk berbagi. Berkata kata-kata bijak. Mensucikan hati. Melantunkan kebesaran Ilahi. Sungguh lelaki itu benar-benar sendiri. Orang-orang di sekitarnya hanya mampu melantunkan doa. Memohon pada Tuhan agar ia di beri kemudahan mencari bekal. Memberi kekuatan melalui tanganya untuk bisa menyelesaikan perahunya. 
     Dengan hati perih aku menatap betapa kepayahanya lelaki itu. Atas izin Allah pula, aku bisa menemaninya. Sekedar menemani. Untuk kerjanya benar-benar lelaki itu sendiri. Petuah terus mengalun dari mulutnya. Memberi nasehat. Meminta maaf atas segala kesalahan ketika ia tengah menguatkan badan kapal. Karena ia percaya. Kekuatan maaf adalah kekuatan yang menguatkan.
Malam yang menjelang. Membuatnya terus mengiba dalam sepi. Mengiba pada Ilahi. 
Tirai seolah tertutup. Mataku tak bisa sepenuhnya melihat hasil perahu dan bekalnya. Sekedar mengingat tentang beberapa bongkah bekalnya. Kapal yang pernah diuji cobakan olehnya.
Ketika malam sunyi. Tubuhnya tak mampu lagi berdiri. Ambruk. Kekuatanya tersedot secara tiba-tiba. Sakit yang tak dirasa akhirnya menyerangnya berkali lipat. Rasa sakit yang telah menaruh rasa dendam itu menumpahkan amarah sejadinya. Sungguh lelaki itu, akhirnya menangis di atas dipan. Mencoba sekuat tenaga menahan sakit yang teramat.
Perahu sebagai tempat muatan bekal tinggal menunggu keputusan Tuhan.
Ia sering bertanya padaku. Ketika ku jumpai dirinya merintih sakit di atas dipan.
        "Gimana nduk ini. Kog sakitnya begini ya?"
Kau bertanya dengan begitu polos. Terkadang ketika kau melihat aku menangis kau sekuat tenaga bicara melucu. Aku selalu terharu. Melihat leaki itu bisa tersenyum di dalam sakitnya yang teramat.
Sekiranya kesempatan. Tentu saja atas izin Allah. Energi fisik dan batinku bisa bermanfaat untuk dirinya. Mataku bisa melihat bagaimana ia berjuang untuk hidupnya. Berjuang melawan penyakitnya. Ala kadarnya, ku temani lelaki itu dalam sakit . Melantunkan doa-doa. Mengingatkan dirinya tentang Ilahi. Sungguh, memang hari-hari melelahkan. Bila dihitung dalam waktu tidaklah lama. Tapi bagiku, energi itu luar biasa.
       "Kapankah aku segera berlayar? lihatlah langit tampak cerah merekah. Ayo bawalah tubuh ringkihku ini ke perahuku"
Lelaki itu terus bertanya tentang kapan ia akan segera berlayar. Kutanya apakah kapalnya benar-benar telah rampung untuk memuat bekal-bekalnya. Dan apakah bekal-bekalnya telah cukup untuk perjalanan panjangnya.
      "Dengarlah kalian itu. Suara terompet telah memanggil jatah perahuku berlayar"
Aku menangis. Itulah pertanda. Sesuatu yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Ku elus dadanya yang kau rintihkan sakit di dalamnya. Batuk yang membuat wajahmu pucat menahan sesak dan panas dalam dada.
      "Tunggulah keputusan Alloh" Suaraku terdengar bercampur isak.
      "Tunggu gimana? aku sudah tidak kuat" kau berkata dengan begitu ringan. Seolah bukan dirimu yang bicara. Aku mengatur nafas. Mencoba pasrah.
        Malam. Dimana kau merasa sunyi dan dekat dengan Ilahi. Kau dituntun untuk terus ingat pada Allah yang telah memberi. Cukup lama. Dan banyak orang bertanya kenapa lelaki itu bisa kuat dalam sakit yang teramat.
Ku berdoa. Ingin melihat apakah perahu dan bekalnya sudah cukup dan selesai.
Hingga hari itu, tanggal 7 April 2011. Ketika pagi hari kujumpai lelaki itu tengah menyandarkan tubuh. Wajahnya seperti hari-hari biasa. Sungguh tiada pertanda dia akan berlayar hari itu jua.
Selayaknya dirinya telah pergi dari daratan. Berlayar menunggangi kapal. Maka ia kini tengah berlayar di lautan. Mengarungi samudera untuk menuju pelabuhan. Jika harus menghadapi bajak laut, jadikan ia seperti Umar bin Khotob yang tangguh. Jika ada gelombang,kokohan layar dan badan kapal. Kupercaya, kapalnya cukup tangguh untuk sampai ke tujuan. Ku yakin bekalnya cukup untuk perjalananya. Dan sebagaimana ku imani, Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambaNya.
Sungguh ku menangis dalam kehilangan. Kulepas dia berlayar ke arah kiblat.
    
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar