Lingkaran Itu tak Bersudut

Jumat, 07 Januari 2011

Mas Kawin untuk Ratno

            Hari hampir saja siang. Namun suasana di pasar kawasan jogjakarta perlahan mulai lengang. Hiruk pikuk tawar menawar pembeli mulai diganti dengan umpatan beberapa pedagang yang barang daganganya masih tersisa banyak. Sampah pun turut berserakan mengisi sepanjang lorong jalan pasar, bau busuk tumpukan sampah di sudut pasar mulai semakin menyengat. Diantara sisa keriuhan itu, Naryati tengah sibuk membenahi sisa barang dagangnya setelah menghitung hasil penjualan hari itu. Beberapa pedagang yang bersebelahan denganya sesaat hanya mengamati Naryati yang menunjukan tanda-tanda kalau dia akan segera berkemas untuk pulang. Tidak biasanya, Naryati pulang lebih awal.
      “kamu mau tutup dagangan,Nar?” tanya penjual gudeg, bu Sarusi yang akhirnya yakin kalau Naryati memang hendak berkemas setelah mengetahui kalau semua barang daganganya di masukan ke dalam tenggok.
Naryati menoleh sekilas kepada bu Sarusi, kemudian tanganya beralih memasukan beberpa kilo gula jawa ke dalam tenggok.
    “iya bu. Ini, karena mau ketempat hajatan nikah teman saya” jawab Naryati yang kemudian memasukan beberapa kilo gula pasir dan satu kilo gula batu.
    “lha kapan kamu nyusul juga Nar” pedagang sayuran, Bu Tuniem turut menimpali pembicaraan. Naryati menoleh sesaat ke arah bu Tuniem, tersenyum. Senyum yang menyimpulkan kegetiran yang coba ia tahan.
     “Amin bu, mohan tambah doa restunya” Naryati membungkus tenggok berisi gula jawa, pasir dan batunya dengan taplak ukuran besar. Tanganya begitu trampil, jelas terlihat ia gadis yang memang sudah biasa bekerja keras. Hal yang menjadi kegaguman karena Naryati baru berusia sembilan belas tahun.
     “ya. Aku doakan semoga kamu segera menemukan jodohmu Nar” papar Bu Tuniem, sedang Bu Sarusi hanya tersenyum dan menoleh sebentar ke arah Naryati sambil meracik sebungkus nasi gudeg, setelah datang pembeli yang memesan sebungkus nasi gudeg.
Hari itu Naryati pulang lebih awal daripada hari-hari biasanya. Meski daganganya masih tersisa banyak, namun Naryati tetap bersyukur karena hasil penjualan di rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hari itu.
       Sebelum pulang, Naryati mampir di toko emas untuk membeli kado untuk pernikahan temanya. Keputusan untuk membelikan kado berupa emas, memang terlalu istimewa bagi keadaan Naryati. Namun keputusan itu ia ambil, ketika tiga kali ia bermimpi memberikan emas kepada temanya di hari pernikahnya tersebut. Uang yang ia persiapkan ia selipkan di dompet kumalnya. Naryati butuh hampir tiga minggu untuk menyisikan uang tersebut, jumlahnya memang tidak terlalu banyak, 200 ribu rupiah. Namun bagi Naryati uang tersebut cukup besar dan bisa dijadikan uang kebutuhan selama dua minggu lebih. Namun bagaimanapun,     Naryati cukup ikhlas untuk hal tersebut. Prinsip hidupnya mungkin dipandang terlalu besar : jika memberi, adalah hal yang terbaik meski tidak selalu harus materi menjadi ukuranya.
     Kado yang akan di beli Naryati kali itu memang cukup istimewa, selain karena ia harus menyisikan selama tiga minggu, Naryati juga harus menahan keinginanya untuk membeli baju baru setelah mengetahui kalau bajunya semakin kusam. Baju “bagusnya” untuk menghadiri acara macam kondongan tampak semakin lusuh, Naryati hanya punya tiga potongan, dan itupun sering ia pakai juga untuk takziah, silaturahim atau ke acara lainya. Dan bagaimanapun, Naryati tekadkan untuk tidak peduli dengan penampilanya di acara kondangan yang akan ia hadiri nanti.
    Naryati menyelipkan sekotak emas itu dalam sakunya. Mampir sebentar untuk membeli kertas kado sebagai bingkai. Setelah pulang ia akan segera mandi dan langsung segera ke tempat hajatan. Acara akan dimulai sekitar setengah jam lagi, namun angkutan yang biasa ia tumpangi belum ada tanda-tanda akan segera berangkat. Kursi yang masih banyak kosong, menjadi alasan pak supir untuk menunggu penumpang lagi.
    “duh, lama sekali ini” salah seorang penumpang di sebelahnya mengeluh sambil mengipaskan secarik koran kewajahnya. Setelah tidak tahan dengan udara panas dalam angkot, penumpang itu akhirnya turun dan menghampiri sang sopir yang tengah menyeruput kopi di warung kecil. Terjadi pembicaraan yang alot, itu terlihat dari ekspresi wajah masing-masing yang tampak tegang.
Naryati menatap keadaan sekitar. Angkot pedesaanya memang terbatas, ia memang harus menunggu karena hanya itu angkot yang tengah parkir di halte dekat pasar tempat berjualanya.
      Setelah datang empat penumpang lagi, angkot akhirnya melaju menyusuri jalan ke arah pedesan tempat tinggal Naryati. Setengah kilo sebelum sampai di kawaasan tempat tinggalnya, tampak janur kuning melengkung di depan rumah. Tenda biru menghiasi halaman rumah dengan kursi-kursi plastik yang ditata rapi. Beberapa tamu sudah menempati kursi tersebut, tampak para pria mengenakan batik halus, para wanitanya lebih glamour lagi dengan stelan kebaya tembus pandang dan sepatu jinjit. Penampilan mereka cukup menawan, meski mereka juga sama seperti Naryati : penduduk kampung.
“Ya Alloh” Naryati menghela nafas dengan berat, kemudian mengamati sekujur tubuhnya. Seolah hendak membandingkan dandanya nanti dengan para tamu-tamu itu. Terbesit keinginanya untuk membatalkan kehadirnya.
Pukul setengah sebelas, Naryati baru sampai di rumah. Dengan gerakan cepat, ia segera mandi dan berdandan ala kadarnya. Pelembab murahan dan bedak tabur menghiasi wajahnya yang berkulit sawo matang, setelan rok panjang bermotif bunga-bunga warna hijau tua menjadi pilihan Naryati. Potongan bajunya terlalu tua untuk usainya yang baru sembilan belas tahun itu, terlebih kerudungnya yang tampak kusam karena sudah terlalu lama.
    “apa kamu yakin mau datang ke pernikahan Ratno?” si mbok yang baru pulang dari buruh di sawah meyakinkan Naryati akan keputusanya.
Naryati mengangguk, kemudian tersenyum sederhana pada simbok yang masih mengamatinya dengan seksama.
     “tidak salah to mbok, saya datang ke pernikahnya mas Ratno?” pertanyaan Naryati seolah hendak mencari dukungan akan keputusanya untuk datang kepernikahan laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun tersebut. Simbok menghela nafas dengan nada jenggkel.
“terserah kamu sajalah. toh simbok juga tidak bisa melarang kamu untuk pergi atau tidak” simbok mencoba menahan amarahnya,kemudian pergi ke dapur untuk memasak daun singkong yang ia petik dari sawah. Terdengar bunyi panci yang seolah sengaja di banting.
    Naryati sebenarnya tidak punya undangan untuk datang kepernikahan tersebut. Keberatan simbok selebihnya bukan karena perkara dapat undangan atau tidak, tapi lebih pada rasa sakit hati akan semua itu. Alasan satu-satunya yang Naryati miliki adalah janji, ya janji ketika dirinya dulu menjalin hubungan dengan Ratno yang akhirnya putus di tengah jalan.
     “kebahagian mas Ratno, adalah kebahagian Naryati juga. Apapun akan Naryati lakukan, selagi Naryati bisa demi bisa melihat kebahagian mas Ratno”
Begitulah, janji Naryati ketika perbincangan mereka di teras rumah. Kala itu langit hanya memberikan bulan separo. Ratno, laki-laki buruh kuli yang tinggal di desa sebelah memang telah mengikat hari Naryati. Kini,ketika keputusan Ratno menikahi gadis lain, Naryati masih ingat akan janji tersebut. Ia akan datang kepernikahan Ratno, demi bisa melihat kebahagian Ratno duduk dipelaminan. Naryati ikhlas dengan semua itu, meski ia juga harus merasakan keperihan luar biasa akan keputusan Ratno yang meninggalkan dirinya begitu saja.
     Suasana resepsi pernikahan semakin ramai, kesederhanan mewarnai nuansa pesta. Naryati dengan sedikit canggung melangkah menuju keramaian, kado dengan sampul bunga ia jinjing erat-erat. Hampir semua tamu dandan dengan pakaian yang mencolok, meski untuk harga tak sebanding dengan pakaian orangh-orang kaya. Namun semua itu, cukup membuat Naryati minder, beberapa pasang mata yang menatap kedatanganya tampak heran, kemudian berbisik pada teman sebelahnya dan di ikuti dengan ikut memandang Naryati. Acara baru saja di mulai, dari kejauhan, Naryati melihat kursi pelaminan dengan hiasaan bunga dan janur kuning menaungi sepasang mempelai yang berseri-seri. Naryati menghela nafas panjang, kemudian merundukan wajahnya.
      Suasana riuh terdengar dari acara tersebut, mengalahkan suara pembawa acara yang tengah berdiri di samping kursi pelaminan. Suasana itu lebih seperti gaungan lebah yang berdesing, dan suara ibu-ibu tentunya lebih dominan. Di antara keriuhan tersebut, Naryati menangkap suara yang membuatnya harus menajamkan pendengarnya.
     “iya, di cicil pokoknya” tersahut kembali oleh suara riuh lainya.
     “memang boleh ya mas kawinnya itu di cicil?”
    “boleh sajalah. asal besok di bayar tentunya.hee..hee” tersahut kembali oleh suara riuh lianya.
    “mas kawinya, cincin satu gram”
      Naryati menghela nafas panjang. Kemudian tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya, secara spontan di ikuti dengan beberapa pasang mata yang mengamati kerpegianya padahal snack dan makanan belum keluar.
      Naryati menghampiri meja tamu, kemudian meminta pada among tamu untuk memberikan kado, karena ada pesan yang lupa ia slipkan. Setelah mendaptkan secarik kertas, Naryati menuliskan kata-kata untuk mas Ratno.
Semoga ini bisa menjadi mas kawin mas Ratno.
Naryati melipat kertas tersebut dan menyelipkanya di lipatan bungkus kado. kemudian menyerahkan kembali pada among tamu yang menatapnya dengan heran. Naryati pergi dari pesta sebelum acara selesai, ada perasaan menang dalam hatinya akan semua itu. Naryati amat bersyukur atas semua itu. Alhamdulillah










GEDUNG FEMINA
JLN. H.R. RASUNA SAID KAV. B 32 -33
JAKARTA 12910

Tidak ada komentar:

Posting Komentar