Lingkaran Itu tak Bersudut

Rabu, 06 Maret 2013

Cerita malam (bersambung)

Bertajuk bintang, malam itu bulan menjadi tema lampu panggung kegelapan.Malam melengkapi sebagai latar yang hanya berujung sampai pagi menjelang. Keriangan anak-anak tertutup selimut, terganjal bantal empuk, terdampar di sudut ruang mimpi .Kesibukan manusia pun terhanyut oleh otot dan syaraf yang tengah bercengkrama mesra di aliran darah beritme kelembutan, terlelap dalam metaforfosis berbingkai kelelahan  dan berharap pada pagi menjelang perubahan itu terasa menyegerakan bagi jiwa dan raga. Metamorfosis yang selalu diharapkan bisa berhasil setiap pagi menjelang.
Malam, tidur dan mimpi adalah tema yang tak pernah usang disetiap waktu pergantianya. Sorot lampu bintang dan rembulan adalah malaikat tersendiri bagi kegelapan malam. Malam menyisakan sepi, sedang kebisingan suara kehidupan  telah dibawa manusia kedalam mimpi mereka sendiri. Sedikit yang menyisakan untuk dentingan suara kehidupan, hanya sebetas sekat ruang-ruang dengan lampu temaram kegelapan. Tawa mereka adalah kepedihan yang tertunda dari sepenggal cerita siangnya, keringat mereka adalah darah bagi luka yang belum tersembuhkan. 
Malam mengelar pestanya, manusia bermacam cara menyambutnya. Cerita dari dunia mimpi, hingga cerita dari manusia yang merasa sepi untuk bergaul hanya di dunia mimpi.
Sementara bumi tengah berdendang dengan sepi. Malam di langit terkisah bulan tengah bernyanyi ketika bintang menghampirinya dengan senyum secuil serpihan guci.
"hai bulan sabit, apa yang membuatmu bahagia malam ini" Nada bicara sang bintang terkesan menantang, bulan sabit pun mengartikan demikan.
"Setiap malam aku selalu lebih bahagia daripada malam-malam sebelumnya. Banyak alasan yang membuatku harus lebih bahagia untuk setiap pergantian malamnya" Bulan sabit tersenyum, namun sesumringah apapun senyum bulan sabit terlihat senyum itu terlalu dipaksakan.
"Tidakkah kau  menyempurnakan kebahagianmu ketika kau dipuncak purnama"
Bulan sabit terhenyak sejenak. Awan tipis sesaat menutupi ujung pucuk badan sabitnya.
"Benar. Memang benar, tapi itu hanyalah titik kesempurnaan untuk memulai titik lebih sempurna lagi"
Pembicaraan terhenti, mereka saling terdiam. Bulan pun bintang sesaat terlihat memikirkan sesuatu. Bola mata mereka berpendar memperhatikan angkasa di sekitar mereka.Bulan menangkap pemandangan angkasa malam itu terlihat lebih sayu, bintang gemintang hanya sedikit yang keluar untuk memerkan kerlipnya, kabut malam terasa lebih tebal berkeliaran bersama angin malam. Malam yang syahdu mungkin begitu maksud bulan mengartikanya.Sedang bulan sendiri terlihat kosong dalam tatapanya, pikiranya tidak mengartikan apa yang tengah ia lihat ketika ia melihat ke arah bumi yang jauh tampak berkerlip indah ketimbang di angksa malam itu. Sesaat bulan sabit menarik nafas dalam-dalam, seraya mengalihkan pandanganya.Angin malam sempat menghampirnya bersama kabut. Ketika itu pula, tatapan bulan sabit dan bintang bertemu dalam keheningan setelah perbincangan sebelumnya.
Suara itu akhirnya membuat bintang dan rembulan saling diam tak bersuara. Suara itu datang dari arah bumi, serentak mereka menundukan pandangan mereka ke arah bumi, mencari pemilik suara yang tengah bersyair dengan suara sendu pilu. Sosok itu berdiri gagah di atas bukit kecil, ia tengah bermain dengan gelap malam tanpa seberkas cahaya lampu ataupun senter yang ia bawa.
"Malam datanglah bersama keheningan, jangan lupa kau bawa sekantong bintang dan separoh bulan, tak perlu purnama karena biarkan separohnya untuk menerangi setitik  kecil angksa raya.Terang itu biarkan siang yang merajainya. Berdasar atas kehendak matahari tanpa mendung yang bergelantung. Siang bagi kehidupan membara dengan kebisingan, panas terik yang membakar kulit dan biarkan siang yang menjadi juru pengurusnya. 
Aku memanggil malam. MALAM. Aku mengundangnya dengan hormat, telah ku sediakan kursi empuk untuk menyambutnya, telah ku pasangkan layar untuk pertunjukan bintang pun rembulan. Jika perlu akan ku sibak angksa malam, agar dapat terlihat bagaimana hebatnya Tuhan telah menciptakan alam semesta ini. Setidaknya, mata buta mereka bisa melihat dengan lebih jelas. Berkatalah ia, jika siang mata ini terlalu terik untuk bisa melihat hebatnya Tuhan dalam penciptaan alam raya, jika malam datang yang terlihat sepenuhnya hanya gelap, bulan ataupun bintang hanya dipaksakan untuk menghadari malam.
Mereka berkata tentang keingkaran. Itulah alasanku ingin menyibak angksa untuk menyolokan ke hadapan mereka.
Malam bersenandunglah dengan sepi, sebab itu adalah kedamaian hati nurani. 
Cerita sebelumnya ketika aku berdiri menantang dingin, bukan karena aku merasa tangguh. Bagiku berdiri di atas bukit ini untuk menyanjung mu wahai malam, yang banyak orang lupakan dengan tidur di atas ranjang, yang banyak orang tenggelamkan dalam pesta tak beraturan.
Malam, hampiri aku. Sudah aku kuatkan untuk mengikuti jejakmu yang sepi sunyi pun gelap tak bercahaya.


"mungkin kau tahu siapa dia?" tanya bintang pada sang rembulan.
"tidak" jawab rembulan lirih.Matanya masih terlihat memandang kagum ke arah sosok penyair malam itu.
"seharusnya ia mempasrahkan malam pada kita. Malam baginya adalah selimut untuk beristirahat, bercengkrama mesra dengan rebahan, melarutkan syair rindu dalam kindung mimpi, menyiram jiwanya dengan kesendirian"


.