Lingkaran Itu tak Bersudut

Senin, 11 April 2011

Lelaki itu. Lelaki bernama Saimin

           Setiap kali ku membayangkan. Waktu mundur sesuai dengan yang kuinginkan. Sekitar 79 tahun yang lalu. Tahun 1932 yang lalu. Sejarah telah mencatat tahun itu bangsa ini belum merdeka. Berarti 13 tahun lagi dari tahun yang kubayangkan. Dan aku membayangkan lebih dalam lagi. Seorang manusia yang bernama Saimin yang terlahir sekitar tahun yang kubayangkan. Lelaki tiga bersaudara yang akhirnya terpisah dari orang tua. Merantau pergi ikut orang yang mau menghidupi. Hingga lelaki itu tiba di sebuah dusun bernama Kadisobo. Orang tuanya sendiri tak tahu dimana rimbanya. Aku menduga. Kemiskinan adalah alasan klasik kenapa lelaki itu harus terpisah dari orang yang telah melahirkanya, dari orang yang menurunkan darah daging untuknya.
           Lelaki itu, lelaki yang bernama Saimin. Berpostur pendek, berkulit hitam. Wajahnya terlihat sekali keturunan orang jawa. Terlebih perilaku dan cara bicaranya. Di dusun Kadisobo itulah. Ia menemukan belahan jiwa, sigaraning nyowo (garwo). Perempuan bernama Sumijah menjadi jodoh hidupnya, mejadi ibu untuk tujuh orang anaknya.
Lelaki itu, lelaki bernama Saimin. Mengolah rasa seni dalam jiwanya dengan bermain ketoprak, wayang wong. Peran yang berganti dari buto terong, patih, raja menjadi bagian hobi di masa mudanya hingga sudah punya tiga,empat anak. 
Aku membayangkan lebih dalam lagi. Tentang masa lalu. Masa yang belum ku lahir ke bumi ini. Tapi aku terlalu berani. Membayangkan bisa melihat sosok lelaki bernama Saimin tumbuh kembang hingga masa menjadi seorang kakek. Memperhatikan segala gerak-geriknya. kelucuanya yang selalu terdengar dari caranya berbicara. Kepolosan hatinya dari cara memaknai hidup.
       Lelaki itu, lelaki bernama Saimin. Sosok bapak, suami, kakek yang dari cerita tidak pernah meluapkan amarah secara arogan. Sikap lembutnya membuat simpati orang-orang di sekitarnya.
Lebih ku bayangkan jauh, kedalam. Tentang masa lalu. Tentang masa ketika lelaki bernama Saimin masih hidup di bumi ini. Bagaimanapun, hingga saat ini, kehilangan sosoknya menjadi kenangan yang indah. Kenangan yang masih sulit untuk dihilangkan.
Rutintas lelaki bernama Saimin adalah dimulai dari sholat subuh, dan tanpa menunggu matahari bersinar ia telah berendam di sungai. Membersihkan tubuhnya, merasakan kesegaran untuk menyambut pagi dan harinya.    Lelaki itu menolak ketika dilarang untuk mandi, meski dirumah sudah tersedia kamar mandi. Lelaki bernama Saimin itu mengatakan kebebasan ketika ia mandi di sungai. Bebas, lepas. Langsung menceburkan tubuhnya, berendam. Lelaki tua itu tak tergerus zaman modern. Dari kebiasaan hingga cara berfikirnya.
Hingga vonis penyakit paru-paru, jantung dan disusul dengan liver,ginjal,tbc,asam urat menjadi deraan yang menyakitkan di akhir usiamu. kau meradang, merintih menahan sakit. Kau bertanya pada siapa saja tentang apa yang terjadi dengan tubuhnya, tentang penyakit yang "menghina" tubuh tuanya. Tentang mengapa ia akhirnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur selama dua bulan lamanya.
          Lelaki itu, lelaki bernama Saimin. Dengan nama tua bernama Pawiro Sukarto. Lelaki itu mulai akrab dengan panggilan mbak pawiro. Merasa gusar. Gelisah. Ketika penyakitnya tak kunjung juga sembuh. Segala pengobatan telah diupayakan. Anak cucunya banyak sedikit meluangkan waktu untuk menjengkuknya. Itu artinya banyak waktu terbuang untuk bisa mencari kebutuhan hidup. Lelaki itu. lelaki bernama tua Pawiro Sukarto merasa bersalah dengan ketidakberdayaanya. Merasa kasihan dengan anak cucunya. Rintihan sakitnya ia tahan sebisanya. Namun akhirnya semakin tak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa meski untuk sekedar bangun sendiri dari tidurnya. Sungguh saat sepeti itu, ia masih saja memikirkan keadaan orang lain. Itulah tabiat dari watak, yang telah tertanam sepanjang hidupnya. Tanpa perlu dibuat-buat untuk menunjukan kebaikan hatinya.
          Maka lelaki itu, lelaki bernama Saimin. menghembuskan nafas terakhir pada 7 April 2011 sekitar pukul 14.30 di rumah sakit umum daerah Sleman di Murangan. 
Pada mulanya ia telah meminta untuk pulang ke rumah. Sepertinya ia telah tahu bahwa maut sebentar lagi akan menjemputnya. Lelaki itu ingin berbaring di atas dipanya, di dalam rumah yang telah ia tempati puluhan tahun. Tapi sungguh keinginan itu tak bisa terkabul, bukan karena keenganan keluarga  untuk merawat di rumah. Sungguh karena keluarga sendiri tidak tega membiarkan ia merintih sakit tanpa dokter dan obat.
Pada kepergian lelaki itu untuk selamanya, akhirnya menguak jati dirinya, menguak tentang betapa ia sosok yang sebenarnya menyenangkan. Mengembirakan orang-orang disekelilingya, dan sosok yang memang telah belajar bersyukur menerima keadaan. Bersabar tentang kekurangan orang lain.
Segalanya hal tentang dirnya, memberikan arti tentang kesederhanaan. 
          Pada akhir hayatnya. Segala macam keinginan soal lidah dan perut telah terpenuhi, oleh anak-cucunya. Semua menawari hal-hal yang bisa membuat lelaki itu kenyang dan segera sembuh. Namun Lelaki itu, lelaki tua bernama Pawiro Sukarto tidak bisa menikmati kebersamaan keluarga dalam kerukunan. Dan aku tahu, lelaki itu masih memendam keinginan yang belum terkabulkan. yaitu melihat anak cucunya berada dalam tali kerukunan.
Sungguh, aku membayangkan lebih,lebih jauh lagi kedalam. Tentang kenangan yang mampu kuingat ketika bersamanya. Saat masa ketika ku diberi kesempatan Alloh menjaga, merawat tubuh tua tak berdayanya. Dan tentu saat aku berada di masa kecil dulu.
Lelaki itu, lelaki bernama Saimin telah menjadi bagian cerita hidup yang kuharap tak lekang oleh waktu.
Semoga, doa anak cucunya bisa menjadi bagian amal jariyah untuk jalan terangnya menuju kepada Allah SWT. Amin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar