Lingkaran Itu tak Bersudut

Jumat, 22 April 2011

Belum Usai, Masih Menunggu Waktu Selanjutnya


Belum Usai, Masih Menunggu Waktu Selanjutnya
Jika boleh berfilsafat lebih dulu tentang impian. Maka akan aku katakan bahwa impian ibarat buku petunjuk perjalanan seseorang. Sebagaimana sebuah perjalanan mencari alamat tujuan, maka tidak selamanya alamat itu bisa ditemukan. Sebagaimana pula tukang post mengajarkan, bahwa dirinya pun juga tak luput dari alamat yang gagal ditemukan.
Maka akan aku simpulkan dari semua itu. Bahwa segala yang terjadi dalam perjalanan, ibarat suatu lukisan. Dimana sebuah garis dan warna  tidak akan membentuk suatu lukisan jika garis selalu lurus, jika warna hanya putih.
Karena itulah. Kuanggap kegagalan bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan. Atau boleh jadi kita bilang sekarang kegagalan satu menit lagi sudah berubah menjadi keberhasilan. Tapi akan aku ceritakan, tentang sepenggal kehidupanku terkait dengan impianku. Simak baik-baik kawan
Sejak usiaku telah beranjak sekitar 16 tahun. Sudah terlintas dalam pikiranku bagaimana bisa mencari uang sendiri. Alamat tujuan adalah untuk bisa memberi kepada orang tuaku, bukan hanya bisa meminta. Jalan akhirnya terbuka dengan begitu mudahnya. Bersekolah di SMK bidang Manajeman dan Bisnis memberikan peluang untuk belajar mencari uang jajan sendiri. Berjualan, tentu saja. Terlebih jurusan bidang keahlianku adalah Penjualan. Kutulis impian itu di buku petunjuk impianku. Melangkah. Bertemu dengan jalan melalui relasi kawan. Begitulah, akhirnya bergabunglah  dengan sebuah MLM, kumulai perjalanan menemukan alamat impian itu. Ku percaya, bahwa tentu Allah akan memudahkan jalan orang punya niat mulia.
Tentu bukan hanya bergabung dengan MLM. Lewat program sekolah untuk menjualkan berbagai produk, ku dapatkan peluang itu semakin lebar. Berjualan keliling kampung menawarkan sembako, obat-obatan, produk kecantikan, makanan hingga minuman.Untung memang tidak seberapa, tapi pelajaran mental adalah untung yang luar biasa.
Alamat impianku memang belum terlihat pertanda kejelasan. Tapi dengan semangat jiwa mudaku waktu itu ku terus memasok alamat tujuan impianku. Menuliskanya dengan begitu semangat. Membacanya dengan penuh seksama.
Waktu liburku terkadang kupakai untuk pertemuan MLM, atau menjual berbagai produk dari sekolah atau MLM sendiri. Mulanya semangat membara, tapi lambat laun ku sadari semangatku mulai meredup. Pasalnya, untung yang kudapat tidak kunjung meningkat. Berbagai mata pelajaran dan tugas sering keteteran.
Intropeksi dimalam hari akhirnya memberikan keyakinan padaku, bahwa tugasku untuk belajar sebagai pelajar tidak boleh dilemahkan hanya untuk mencari uang. Terlebih keluargaku masih terbilang berkecukupan.
Perlahan, ku melangkah mundur secara teratur. Mencoba beralih kepada alamat tujuan impian lainya. Impian itu adalah menjadi siswa berprestasi setalah itu melanjutkan ke perguruan tinggi. Akhirnya terbentur dengan urusan : Boro-boro prestasi.Lulus saja sudah syukur
Impian ke perguruan tinggi terbentur kondisi keuangan. Orang tua hanya kuat membiayaiku melanjutkan ke sebuah sekolah pendidikan guru TK selama 2 tahun. Kupilih juga, alasan kuatnya karena aku merasa, menjadi guru TK adalah pekerjaan mulia. Bila beruntung kelak juga akan diangkat sebagai pegawai negeri. Begitu pikirku waktu itu.
Bekerja sambil bermain-main dengan anak-anak terbayang begitu pasti mengasyikan. Menyenangkan dan bisa membawa rizki untuk bisa awet muda. Seluruh bayangan menyenangkan semakin mengairahkan semangatku untuk mendaftar dan belajar di sekolah tersebut. Ku tulis impianku, menjadi guru TK yang bisa awet muda.
Namun akhirnya kutemukan suatu hal yang akhirnya membenturkan alamat tujuan impianku. Semua berawal dari sebuah persepsi diriku sendiri. Setelah kusadari. Setelah ku terjun ke realitas sesugguhnya. Di sebuah TK kelas menengah ke atas dengan sistem full-day aku magang di situ. Betapa terkejutnya aku, harus berurusan dengan BAK dan BAB anak (Buang Air Kecil dan Buang Air Besar). Semua harus diurusi, selayaknya baby sitter kepada anak asuhnya. Selebihnya melelahkan, menjaga anak-anak dari pagi hingga sore. Itulah sebab aku sering terkena migran dan jarang bisa masuk mengajar untuk magang.
Kegagalanku menamatkan di sekolah pendidikan guru TK tamat sudah. Tapi dikesempatan lain, aku mencoba mengajukan kepada orang tua untuk belajar di universitas saja. Tak kusangka, orang tua memberi izin. Aku berkata pada diriku sendiri, kenapa tidak dari dulu saja.
Usiaku menuju 20 tahun, ku daftarkan diri pada universtias swasta di kotaku. Mulanya ada kebingungan memilih fakultas. Antara sastra apa psikologi?. Lagi-lagi dengan pertimbangan jika sastra bisa dipelajari bersama suatu forum sastra di kotaku, maka kupilah psikologi sebgai fakultasku.
Belajar di sana, berharap kelak akan menjadi seorang psikolog yang handal. Aku menuliskan kembali alamat tujuan impianku. Dengan penuh seksama, dan  kubuat dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Menjadi Psikologi. Ketertarikan pada dunia tulis-menulis menambah lagi impianku : Menjadi Psikolog yang menulis buku-buku Psikologi.
Menuju akhir semester, keputusan besar akhirnya kuambil dengan penuh pertimbangan. Keputusan untuk menikah. Impianku untuk bisa mencintai dengan resmi akhirnya terwujud. Terlebih suamiku saat ini, telah siap dengan semua resiko dari kondisiku. Menikahlah aku. Mulanya belajarku di univertias itu dimudahkan, lama-lama terasa sulit untuk bisa meneruskan. Terlebih ketika proyek suamiku semakin meredup dari hari ke-hari. Sedang aku belum menemukan pekerjaan sambilan.
Dan sungguh. alamat tujuan impianku yang masih bergaris merah, yang masih tertera di urutan nomor satu, yang selalu membunyikan alarm. Masih terus menyiksaku, hingga kini. Aku masih gagal memberi sesuatu hal terbaik untuk orang tuaku, bisa memberi materi bukan hanya meminta terus hingga kini. Bisa menjadi anak yang dibanggakan dengan prestasi.
Hingga kini aku masih berdoa, semoga masih ada umur dan kesempatan untuk mewujudkan impianku. Membahagiakan orang tuaku dengan prestasi. Terlebih bisa membantu orang tuaku dalam mencukupkan materi. Tentu doa dan kasih sayang tetap tak harus dilupakan. Terima kasih kawan. Ku akhiri dengan bergumam
“Cerita ini belum usai. Masih menunggu waktu selanjutnya”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar