Lingkaran Itu tak Bersudut

Jumat, 18 Januari 2013

Tengadah untuk Memohon, untuk kita, untuk romantisme ini

          Aku mengeluh waktu itu, kau terdiam dan aku tidak menyukai itu. Sesungguhnya aku tahu, diam mu adalah nyanyian derita yang lebih pedih ketimbang derita yang sesungguhnya. Tentu, aku mengeluh tentang derita yang tengah melanda kita.Tak cuma mengeluh, aku sering meraung menangis pilu, tak lebih itu semua hanyalah sebuah tindakan meratapi nasib pilu.Meratapi sesuatu dengan hanya duduk bertopang dagu.
       
         Malam yang dingin, saat selimut tak mampu menghatkan tubuhku. Ketika perapian telah kehabisan kayu yang tak mampu terbeli.Ketika perut berontak, meminta hak makanan untuk digilingnya.
Aku menghujat. Ya, hujatanku, menyentak jiwamu. Melonjakan emosi amarahmu. Saat itu, tampak jelas sekali kau berusaha sekuat tenaga meredam emosimu, agar tidak membuncah, membanjiri keadaan. Siratan lain kau memberi bahasa qalbumu, bahwa kau begitu khawatir jika aku yang tekena banjir luapan emosimu. Sama sekali kau tidak memperdulikan  dirimu, kau khawatir jika luapan itu akan berakibat buruk padaku. Menerjangku, menghantamku dan akhirnya melukaiku. Dan rasa sakit lukaku itu tentu saja kau akan turut merasakan sakit.Bahkan kau akan merasa lebih sangat, sangat sakit ketimbang aku. Sakitmu, rasa penyesalanmu, rasa bersalahmu menjadi sakit yang teramat bagimu. Hingga kau menyimpan semua itu dalam kotak diam emasmu, kau menyimpannya sangat rapat, setidaknya berusaha sangat rapat.
          Derita itu sesungguhnya adalah kebodohan kita sendiri. Kita yang mengali lubang, dan kita sendiri yang menjatuhkan tubuh kita kedalamnya, kita berusaha untuk naik, keluar dari lubang itu. Namun tatkala kita sudah keluar, kita kembali lagi mengali lubang dan kita kembali menjatuhkan tubuh kita kedalamnya. Kita keletihan sendiri, kelelahan, kepayahan dan sungguh kita sangat merugi segala energi.

Kau mengatakan kepadaku, bahwa anggap ini adalah pelajaran ilmu untuk kedepanya, agar kita bisa tahu lebih banyak tentang tikungan-tikungan jalan kehidupan ini.Aku mengangguk setuju, menetapkan hati bahwa semua ini adalah ujian bagi kita.
Ketika kita bersama, duduk saling bersandar bahu kau menjeleskan pertanyaan ku tentang kehidupan ini. Ingin aku catat, namun aku terlalu malas untuk beranjak dari pangkuanmu sekedar untuk mengambil alat tulis. Aku mengingatnya, sedemikian erat ku simpan. 

Sayang, aku pernah mengatakan hal tentang perasaan sepit saat itu, dan kau mengatakan anggap saja itu arti dari sebuah keramaian yang pernah kau rasakan. Bukankah ramai  tidak lagi berarti, jika sepi tidak ada kawan untuk lawan berbagi.
Sayang, aku menderita sakit waktu itu, dan kau mengatakan anggap saja itu arti dari sebuah bahagia yang pernah kau rasakan. Bukankah bahagia tidak lagi berarti, jika sakit derita tak pernah kau alami.

Kau mengajariku tentang hal itu, dan aku baru paham ketika aku pernah merasakan dan mau mengerti hikmah akhir dari semua itu.
Lelahku, sakitku,sepiku menjadi sesuatu yang patut aku kenang, untuk menemani rasa syukurku, untuk menjaga rasa syukurku, untuk mengingatkan rasa syukurku. Saat ini,  sampai nanti.

Aku memelukmu, dan kau menenangkanku.
Setelah aku merasakan kehangatanmu, kau menasehatiku.
Aku merasa bahagia dan kau merasa puas dengan hal itu.
Seolah bagimu, melihat kebahagianku adalah kepuasaan tersendiri bagi bagian hidupmu.
Membahagianku seperti menjadi bagian tujuan ibadah hidupmu.
Dan entah karena sebab aku baik hati, atau karena kasihan kepadamu.
Aku seolah tak ingin menangis lagi, setidaknya itu di hadapanmu.
Karena sepertinya hanya dengan itu aku membahagiakanmu.

  Wahai manusia yang memiliki jakun di tenggorakanmu, aku menghargai caramu mencintaiku. Dan aku mengatakan terima kasih untuk hal itu. Semoga Alloh membalas kebaikan cintamu. Dan setidaknya aku ingin membalas cinta mu dengan bakti pengabdianku.
Teruslah kita mencari, jalan dimana Alloh meridhoi. Kita telah berjanji, dan kita harus menepati.....

L pada B




       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar