Lingkaran Itu tak Bersudut

Jumat, 29 November 2013

Hasan dan doa ajaibnya



      Hari Jum’at malam bulan purnama. Tidak ada suara keriuhan. Keadaan di desa yang jauh dari keramaian kota itu terlihat begitu sunyi senyapi. Meski waktu itu malam belumlah larut.
      Hasan seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun keluar dari Masjid setelah menunaikan sholat maghrib. Sepasang sandalnya saling berpencar, tidak tertata rapi seperti pemilik jam’ah lainya. Sehingga ia harus tertinggal paling akhir setelah sembahyang usai.Untuk beberapa saat Hasan harus mencarinya dengan mengunakan lampu senter yang ia bawa dari rumah. Pak Abdul Latif yang mengetahui kecerbohan Hasan, memberi nasehat agar anak itu membiasakan diri untuk meletakan sesuatu secara teratur. Dengan menganguk tanpa bersuara Hasan menjawabnya.
    Setelah menemukan sepasang sandal yang ia cari, ia segera berlari seorang diri. Menyusuri jalan sepi menuju rumah damainya.Kebetulan hari itu, orang tuanya tidak berangkat ke masjid karena baru pergi ke kota untuk menjenguk kerabatnya yang tengah sakit. Jalanan desa yang belum beraspal membuat Hasan harus berhati-hati, terlebih tidak ada lampu penerangan. 
      Di sepanjang jalan tertanam rimbun semak belukar dan pepohonan yang tumbuh tinggi. Keadaan terasa semakin mencengkam ketika tiba-tiba angin berhembus. Mengerakan ranting kering pepohanan yang menimbulkan suara berderit yang cukup keras. Seperti suara jeritan yang memekakan telinga. Hasan teringat tentang film horror yang pernah ia lihat beberapa bulan lalu. Bulu kuduknya terasa merinding terlebih ketika ia teringat tentang cerita horror teman sepermainanya tentang keangkeran temapat yang kala itu pas ia lalui.
Hasan tercekat, ketika ia melihat sosok bayangan beberapa meter di depan jalanya. Sosok itu mulanya berwujud seperti kabut tebal, semakin lama ia berbentuk wujud yang jelas. 
     Jantung Hasan berdegup dengan kencang, ia langsung berfikir dengan cepat jika sosok di depanya bukanlah manusia. Bagaimana tidak, jika sosok itu berdiri mengambang dengan pawakan tubuh yang cukup tinggi dengan mengunakan gaun putih panjang yang menutupi sempurna sosoknya. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas, tertutup rambut panjang yang terlihat kaku.
Hasan hendak menjerit tapi terhenti di tenggorakan. Badanya hampir saja menggigil karena ketakutan,namun dengan kemampuan mengontrol diri, Hasan segera mengingat satu doa yang sore tadi kebetulan di anggap LULUS oleh Ustadz Restu. Hasan mengatur nafas, kemudian dengan lantang ia membaca doa tersebut dengan memejamkan mata secara rapat-rapat, berharap ia tak melihat sosok itu lagi.
“BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM.ALLOHUMMAABAARIKLANAA FIIMAAROZAKTANAA WAAKINAA ‘ADZAA BANNAAR. AAMIIN”
Tak berapa lama, setan yang ternyata berjenis Kuntilanak itu kebingungan dengan raut wajah terbengong-bengong.Hingga akhirnya terbirit-birit pergi sambil memaki
“Kutu kumpret, seumur-umur guwe jadi kuntilanak baru kali ini mau di makan sama bocah tengik .Kampret,kampret”
Ternyata kuntilanak tersebut berasal dari kota yang jauh dari desa tersebut. Maksud hati malam itu ia ingin pergi jalan-jalan seraya mencari mangsa, namun termangsa oleh kebodohanya sendiri. ^_^




Kamis, 28 November 2013

Malam Untuk Sang Malam (Pemuji Sang Pelantun Doa)

Malam memanggil purnama dengan mesra. Lewat sajian harmoni gugusan bintang yang bernama. Dalam berjuta  hitungan yang jatuh dalam telungkup do'a seorang hamba kepada Tuhanya. Sebuah jalinan yang tercatat alam semesta untuk di sajikan dalam jamuan. Jamuan alam merelakan sepi malam terkoyak suara lolongan serigala yang tengah kelaparan.Hening yang harus dipenjarakan sendiri dalam keriuhan. Terasa berat. Hingga memisahkan air dalam buih lautan.Begitu melelahkan.
Jangan menghentikan panggilan malam pada purnama. Lepaskan energi panggilan, biarkan ia membaur bersama semesta yang merindu untuk di sanjung. Dia akan mengatakan tentang kehidupan, dia yang akan mencatat setiap harapan dan dia yang akan menyampaikan pada Sang Kemilik kehidupan. Doa itu tak pernah hanya sekedar berdengung kemudian menghilang. Pudar. Setiap nada yang terlantun telah alam siapkan wadah berupa cawan suci. Entah kapan terkabul. Jikapun masih berUpa lantunun, doa itu akan tersimpan hingga akhir zaman.
Terangkan pada bulan purnama, bahwa panggilan malam adalah penyinar untuk pelantun doa. Terangkanlah bagaimana malam telah bercerita tentang gelap dan sunyi. Pelantun doa tidaklah gelap, sebab tangan yang selalu menengadah adalah sumber cahaya. Satu  yang bisa memadamkankarena putus asa. Hingga runtuh dalam buruk sangka.
Jangan perlakukan malam hanya karena gelap dan sunyi. Menikam rasa sanjungan dengan caci makian. Meretakan dinding iman pada ketakutan yang tak berasalan. Malam dan sunyi bukan untuk mensunyikan hati yang telah sunyi.
Pelantun doa selalu memuji malam, menyanjung tinggi seperti memanggil purnama untuk datang. Tetapkan, bahwa malam bukan punya purnama. Malam adalah malam, dia memiliki alam tersendiri untuk kita mengerti.
Jangan jadikan malam hanya untuk menyembunyikan tangisan.Jangan hanya jadikan malam untuk merebahkan lelah dan kesakitan. Pelantun doa tahu bagaimana cara memperlakukan malam untuk sampai pada kerajaan Tuhanya.
Pelantun doa dan malam ia adalah sinergi kekuatan untuk jiwa yang hidup untuk sang pemilik Kehidupan :-)

Bukan berarti ini tidak setia

Sesaat dan untuk saat ini aku ingin berhenti sejenak. Berhentiku bukan karena aku  putus asa. Tapi untuk mengambil ancang-ancang untuk langkah dan lari berikutnya. Berhentiku bisa banyak orang artikan sebagai bentuk sifat pembosan. Memang benar, aku pembosan. Karena aku suka warna yang tidak hanya hitam atau putih. Aku pecinta sejati pelangi. Aku tak peduli, karena bagiku aku hidup bertanggung jawab pada diriku, Tuhanku dan sosialku bukan bertanggung jawab terhadap penilian orang yang tidak menyukaiku. Atau mungkin idealis yang tak lebih sifat egois diri sendiri. Dan sungguh, aku terusik karena memang sifat idealisku belum sempurnanya mati, ia tak lebih hanya tidur panjang dan sepertinya kini ia perlahan mulia siuman. Dan aku tak bisa mengelak tentang hal itu, kini yang kurasakan tenaga idealis itu semakin membesar sebelum dulu pernah ku tidur panjangkan. Itulah hal yang membedakan makna bagaimana mencintai pelangi dengan kesetian pada satu warna kehidupan. Ini bukan perkara kesetian pada satu warna dengan idealis mencintai sejati warna pelangi, ini perkara hati yang tak bisa di usik dengan setia atau tidak setia.
Kemarilah kawan, temani aku untuk menata tempat tidur untuk istirahatku.Merebahkan tubuh ini, memejamkan mata kemudian merindu untuk segera bertemu dengan pelangi.

Inilah kita

Ok, manusia diciptakan dengan titik kemulian yang terletak pada perjuangan pembenahan kesalahan yang tak pernah luput dari kehidupanya. Karena manusia sendiri tidak ada yang sempurna dengan tidak pernah berbuat salah dan dosa. Namun sekejam apakah ketika kita berlagak sok menjadi hakim untuk menghakimi kesalahan orang lain? Bahkan melupakan kebaikan-kebaikan orang itu lantaran kita ingin merasa tampil paling benar selama ini. Terlalu sadis, ketika menganggap bahwa kesalahannya adalah hal yang terburuk dan menjijikan. Hingga terlalu egois, ketika kita mempunnyai akal dan naluri kita tanpa mau tahu sebab apa kesalahan itu terjadi. Sengaja atau tidak sengaja?. Kenapa dia bisa berbuat seperti itu?. Sampai pada kita tidak tahu (karena tidak mau tahu), Tuhan sudah mengampuni kesalahanya atau belum. Sedang kita masih berdiri tegak dengan menyombongkan diri "lihatlah, dia yang melakukan kesalahan ini dan itu, sedang aku kan tidak. Kalau aku........". Jadi, tolonglah, bukanlah kapasitas kita menjadi "hakim" di setiap kesalahan dan dosa orang lain, karena bagaimanapun kita tahu bahwa Hakim yang Maha Agung adalah Tuhan yang selama ini kita mintai pertolongan dan kita sembah.Jika pun kapasitas kita menjadi hakim, tentu itu sebatas karena tuntunan profesi atau tugas amanah yang telah disumpah. Sejauh ini kapasitas kita apa? tak lebih dan tak jarang kapasitas kita  hanya makhluk yang tengah panik karena tengah mencari sebuah pengakuan, bahwa" aku ini orang yang baik, karena aku tahu kesalahan orang lain". Lihatlah!, sebijak itu kah kita.
Baiklah, manusia memang cenderung tidak mau disalahkan meski sebenarnya dia juga merasa bersalah. Dan inilah yang sering membuat diri kita lupa, tujuan hidup kita. Manusia yang mudah menyalahkan orang lain tak ubahnya juga seperti orang yang tengah mencari pengakuan dirinya bahwa dirinya orang baik. Manusia yang tidak mau disalahkan sekiranya memang ia tidak mau dianggap buruk di hadapan manusia lainya. Segalanya akan lebih berarti, ketika kita menganggap bahwa diri kita hanyalah manusia nista, karena yang mulia hanya Alloh SWT, Tuhan kita. Apa yang salah dengan kejamnya kehidupan, adalah ketika kita menganggap bahwa diri kita mulia dan tak patut merasa terhina.
Jiwa kita begitu rapuh, sangat rapuh akan cacian,hinaan dan pengkhianatan. Itu bisa dimengerti, karena di antara kita tidak ada yang mau merasa menjadi hina. Jiwa kita mudah bergejolak dengan nafas kehidupan, jiwa kita mudah berguncang dengan senggolan. Jiwa kita terlalu rapuh, namun ia akan mampu kuat ketika kita mengantungkan pada yang Maha Kuat.
Hahh, (menarik nafas). Jiwa kita tak akan pernah berhenti merespon setiap percikan air kehidupan, entah itu air jernih, air kotor, air comberan. Karena jiwa kita hidup. Namun ketika kita menjadi kuat maka kita mudah memaafkan atas kesalahan orang lain. Itu jika kita dipihak merasa didzolimi.Namun bagaimana jika kita selama ini ternyata bagian orang2 yang suka mencari kesalahan orang lain? ahhh semoga Alloh memberi pemahaman pada diri kita sendiri, sejauh mana kita melangkah pada kehidupan ini, bagaiamana kita, apa yang telah kita lakukan selama ini, seperti apa sebenarnya perilaku dan sikap kita pada orang lain, dan tentunya seburuk dan seperti apa sebenarnya dosa dan kesalahan kita selama ini. Jika kita telah tahu bahwa tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah dan dosa, maka perlukah kita menambah dosa dengan membicarakan aib dosa orang lain karena ada rasa benci dan iri?. Karena tak bisa dipungkiri, kita bagian dari makhluk yang bernama manusia yang seluruh seisi alam semesta selalu membicarakan tingkah makhluk berakal ini.Makhluk yang memiliki banyak kecenderungan untuk selalu merasa menang, meski itu sekedar urusan salah dan dipersalahkan.