Lingkaran Itu tak Bersudut

Rabu, 16 Maret 2011

Menjadi Sendiri


Tanpa sadar kau telah melukaiku. Dengan caramu. Pola pikirmu. Gerakanmu. Caramu mengatur waktu. Bahkan dengan keputusan hidupmu. Kau masih betah di tempat ini. Kenapa?. Sepertinya bukan perkara karena belum ada biaya. Semua lantaran kau tak punya niat untuk pindah dari tempat ini. Kenapa pola pikirmu begitu? Sesederhana itu?. Patutkah aku menyalahkan otakmu? Patutkah? Hal yang tabu untuk bicara hingga sejauh itu memang. Aku menganggap tak mengapa. Karena aku akan terus mengejar  dengan berbagai pertanyaan.Pada siapa dan apa patutku salahkan perbuatanmu itu? .Kuharap bukan karena perutmu.
Kau pun semakin jauh telah melukaiku hingga pada caramu menguap. Caramu memegang perut karena lapar. Mataku sepertinya telah buta untuk bisa melihat caramu yang penuh kasih padaku. Seharusnya kau mau mengerti. Jangan hanya kau tuntut aku untuk bisa mengerti cara hidupmu. Bukankah kita telah satu atap? bukankah kita telah menjalin hubungan diatas sebuah janji suci? Seharusnya kau lebih sadar untuk mau berubah. Masamu bukan lagi sambungan ketika statusmu sebagai lajang. Sekarang kau telah berkeluarga. Bersamaku. Sebagai istri yang menemanimu.
Sungguh kau semakin jauh telah melukaiku. Pada cara sikapmu yang mengampangkan persoalan. Selalu kau buat merayu dengan kata tenang, tapi pada kenyataanya aku melihat akhir yang lebih buruk dari persoalan semula. Sungguh aku sebenarnya merasa terluka ketika ku beranikan diri menuntut padamu.Mulanya aku hanya mampu diam. Mencoba memahami maksudmu. Menyelami kehidupanmu. Tapi nyatanya aku malah tenggelam sendiri oleh gelombong kehidupanmu.
Sungguh salahkah aku untuk berbicara banyak hal tentang luka ini?. Telah kulupakan pengorbananku selama ini. Aku tak peduli. Karena semakin ku ingat, akan menambah luka dalam hatiku.
Kau memang telah melukaiku. Dan semua perkataan ini mungkin seperti kata-kata yang memojokanmu sebagai seorang yang sadis.Pendosa. Maafkan untuk urusan sejauh itu Tapi aku tak mau peduli. Karena semakin ku peduli, aku akan teringat angan-anganku dimasa lalu yang terbantai sadis karena keadaan yang kau bawa untukku.
Sejujurnya. Pantaskah semua ini perlu dipertahankan. Jika rasa sakit ini laksana ledakan nuklir yang meninggalkan radiasi elektromagnetika yang siap mengancurkan tubuh secara perlahan .
Kau memang telah melukaiku. Dengan caramu laksana pungguk merindukan rembulan. Aku menunggu jawabanmu. Resolusi dalam rumah tangga kita harus segera dilakukan. Itu jika kau masih ingin mempertahankan.
Kau pun bertanya tentang makna resolusi. Aku tak menjawab. Karena ku rasa suaraku akan setengah berteriak. Tentu kau tahu, dalam dadaku bergemuruh emosi yang tengah membuncah. Kau pun menyalakn TV. Aku tahu maksudmu.
Matikan TV. Karena bukan resolusi pemerintahan yang tengah marak diperbincangkan di siaran berita. Resolusi dalam rumah tangga ini kiranya perlu. Itu jika kau mengerti maksudku. Duduklah bersama di teras rumah kita. Tanpa orang lain. Bahkan nyamuk pun kiranya tak perlu hadir di tengah-tengah perbincangan kita. Akan kujelaskan banyak maksudku yang selama ini tersembunyi. Jika kau ingin secangkir teh atau kopi akan ku sajikan. Jika tambah makanan lainya aku harus berfikir ulang. Karena muara permasalahan kita seputar hutang menjadi agenda yang tidak perlu ditambah dulu Setidaknya untuk sementara waktu. Sebab untuk urusan teh dan kopi, gula masih setoples penuh. Kau tentu ingat jika baru kemarin kita pulang dari kota orang tuaku. Membawa sekantong penuh sembako untuk membantu mengepulnya asap di dapur kita.
Di teras mana kita akan berbincang? jika kanan kiri tempat kita menumpang saat ini adalah emperan kamar, dapur, WC kakak-kakakmu. Maaf bukan aku menyulut perkara ini semakin berkobar. Aku hanya memberi tahumu tentang keadaan kita yang tidak punya teras rumah. Sepertinya aku setuju dengan ide yang baru saja melintas di pikiranku. Waktu tengah malam sepertinya sunyi untuk kita bisa menggunakan pekarangan sempit di depan kamar kita. Kuping mereka pasti ikut terkubur bersama mimpi. Dan kita bisa berbincang banyak hal yang tak perlu lagi ditutupi.
Malam yang menjelang. Kau pun bersiap untuk menghadiri undanganku. Aku telah siapakan dua cangkir kopi untuk perisai serangan kantuk.
Kita pun akhirnya berbicara. Meski nyamuk, tikus ikut bersama dengan suara gaduh di atap genting sana. Tubuhku bentol-bentol akibat serangan nyamuk di malam itu. Terpaksa, aku mengakhiri perbincangan kita yang baru bertanya tentang kabar kita sehari itu. Tentu hanya sebatas itu. Karena sehari, dua hari kita lagi berbincang layaknya sepasang suami istri.
Batal sudah apa yang telah kurencanakan. Di malam berikutnya, pun tak lagi terlaksana. Kau lembur. Malam berikutnya pun tak lagi terlaksana. Aku mengejar deadline pekerjaan. Malam berikutnya tak juga terlaksana. Kita sama-sama mencari hiburan sendiri-sendiri.
Aku bergetar mengucapkan selamat tinggal pada malam yang kunantikan. Bersamamu. Berbincang di depan teras rumah kita dengan suguhan secangkir kopi ataupun teh. Tanpa ada nyamuk, tikus terlebih telinga manusia. 
Meski kita  telah punya hiburan masing-masing. Sepertinya aku masih tetap merindu dalam tunggu untuk malam itu. Ucapan selamat tinggal itu hanya untuk menguatkan diriku agar aku bisa menerima kenyatan pahit itu. Tapi ternyata aku semakin merasa pahit untuk bisa mencecap manisnya madu perkawinan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar