Lingkaran Itu tak Bersudut

Kamis, 10 Februari 2011

Gula Dalam Toples

Tentu semua setuju jika sesuatu yang bisa mendatangkan rasa di lidah adalah karena ada sesuatu yang masuk kemulut. Entah itu garam, gula, jamu atau bahkan air yang rasanya memang tawar. Tapi semua setuju jika sesuatu yang tak berasa pun masih punya nama, yaitu tawar,hambar dan semacamnya.
Tapi aku masih ingat betul, jika gula masih berada di toples. Hingga sore hari itu sama sekali tak kesentuh gula dan semacamnya untuk rasa manis di lidahku. Tapi aku merasakan manis yang teramat. Tentu saja ketika suamiku baru saja pulang dengan membawa sekantong penuh senyuman manis di bibirnya. Menurutku aku seperti tengah bermimpi atau bahkan mabuk jika mengingat kejadian sore hari itu. Suamiku tersenyum penuh arti kemesraan nan romantis. Memasuki rumah aku memberi isyarat lewat ekor mata untuknya. Pada sofa empuk itu aku hendak menitipkan sebentar "waktu urusanku melayaninya. Dan suamiku pun mengerti. Dengan wajah lelah yang masih terbungkus senyuman . Ia duduk dengan perlahan, sedang secangkir kopi belum terhidang. Secangkir kopi lagi-lagi lupa aku hidangkan.Aku masih begitu larut dalam kesibukan duduk di depan laptop untuk menuliskan banyak hal. Aku hanya terpengarah untuk mencium tangannya ketika ia yang malah menghampiri mejaku, begitu saja. Setelah itu aku "melemparkan" urusanku untuk mengurusinya pada sofa empuk itu. Ia diam tapi sisa senyuman masih terasa hingga di pelipis bibirku. Sempurna.Aku mengira nenek buyutnya yang dahulu mandor pabrik gula di Surabaya mengejewantah dalam dirinya. Setumpuk tebu tau setumpuk gula pasir untuk gaji yang setengahnya dibagikan pada fakir miskin.
"sibuk ya dik?"
Seperti menyebarkan aroma, Ia buka muara senyum manisnya untuk ditebar di sekitarku. Aku memanipulasi ekspresi. Ku beratkan suara dan raut wajahku untuk menunjukan betapa aku tengah serius dan kelelahan. Lagi-lagi kau mengerti, meski sebenarnya engkau tahu arti dari ekspresiku adalah tak ingin diganggu meski itu sekedar menghidangkan kopi untuk membasuh lelahmu. Sebentar saja dia betah di sofa empuk itu. Dia pun berlalu masih dengan kaki yang masih terbalut kaos kaki hitam yang tak kentara kotornya, masih dengan kemeja bergaris yang baru tadi pagi aku sempat menyeterika.
Buyar sudah konsentrasiku. Kuyakinkan pada diriku sendiri bahwa tidak ada gangguan untuk melanjutkan kerjaku, suamiku tidak pula tampak marah ketika rumah masih sama berantakan persis ketika ia berangkat kerja pagi tadi, bahkan sekedar secangkir kopi pun tak terasaji untuk menghapus dahaganya. Aku yakinkan pada diriku sendiri bahwa semua masih bisa dilanjutkan, tidak ada masalah. Namun sepertinya, dibalik diriku merasa tidak setuju dengan tindakanku. Selama ini, aku benar-benar belum terbiasa menjadi istri yang selalu bisa melayani suami. Cara hidupku yang masih dalam lingkaran sesat egois sepertinya masih terus mengiri langkahku hingga kepernikahanku. Namun sudah cukup banyak hal yang aku pelajari untuk bisa mengerti dan mau melayani, dan selama itu aku merasa ada kemajuan meski itu hanya selangkah bahkan setengah langkah setiap rangkaian waktu.
Seiring dengan gemulat didalam batinku. Terdengar suara sendok bertaut dengan gelas berisi air. Terdengar tanpa irama bahkan seolah hanya asal-asal saja. Sepertinya tangan laki-laki memang tidak punya keindahan sama sekali untuk urusan menciptakan seni terkait dengan perabot dapur. Aku mendesah panjang. Kuurungkan rencana sebelumnya untuk beranjak. Menanti hal apalagi yang akan kudengar bahkan akan kulihat terkait dengan upaya suamiku menjalani apa yang ia yakini, apa yang ia cintai dan apa-apa yang menurutnya atas nama cinta sejati.
Aku memilih berdiam diri. selayaknya patung. Layar laptop pun akhirnya menghitam, menutup screen saver yang semula mewarnai layar. Mouse berkedip dengan cahayanya. Kubiarkan saja. Aku sudah memilih cara untuk semua itu adalah dengan diam dan melihat apa yang akan kulihat dan mendengar apa yang akan dengar nanti.
Seberapa jauh rasa sabar suamiku. Tergelitik rasa ingin tahuku, meski sebenarnya tujuh bulan menikah aku belum tahu sepunuhnya tentang suamiku secara mendalam.
Terdengar suara gorden pintu menuju ruang tengah tersibak tangan. Lagi-lagi suaranya terdengar kasar dan tidak ada irama seni sama sekali untuk membukanya. Sesosok tubuh melintas dan tak jauh dari tempat dudukku dibelakang meja sosok itu menghempaskan tubuhnya diatas sofa yang sebelumnya aku kirim mandat untuk memanjakan dirinya barang sesaat. Uap panas secangkir kopi mengepul, aroma kopi tercium begitu sedapnya. Aku tergoda. Suamiku tampak perlahan meletakna secangkir kopi diatas cawan itu dengan pelan. Terdengar suara tautan kaca meja dengan alas cawan yang terbuat dari keramik. Rupanya untuk urusan bahaya, tangan itu bisa sedikit pelan untuk menghindari resiko. Aku sepertinya mengerti tabiat laki-laki. Bahwa untuk urusan terkait bahaya laki-laki adalah jagoanya, mereka punya bakat untuk memperkecil resiko dengan akal mereka yang memang liar.
Terdengar seruput kopi yang disesap oleh mulutnya. Aku mencuri padang lewat ekor mataku. Kakinya kali itu sudah tidak terbungkus kaos kaki. Beberapa kancing bagian atas kemejanya sudah terbuka dan bawahnya tak lagi tampak rapi.
"Masih sibuk tho dik?"
Ia kembali bertanya dengan suara yang terdengar ringan. Tidak ada tanda-tanda rasa kesal karena harus membuat kopi sendiri, melihat rumah yang masih terlihat berantakan, terlebih melihat diriku yang dandananya tak jauh berbeda dari tadi pagi saat aku sempat mengantarnya pergi ke kantor sampai depan pintu.
Aku hanya mengangguk. Dan kembali bersikap pura-pura konsentrasi pada layar laptop untuk meneruskan kembali naskahku yang sejak tadi turut diam mendengarkan.
Sepertinya aku sudah lama tidak minum jamu temulawak,brotowali dan sejenis jamu pahit lainya. Tapi sore itu simpul ingatanku sepertinya teringat kembali akan bagaimana rasa pahitnya di bibirku. Rasa pahit menghampirku tatkala bertubi masalah hingga begitu saja dalam diriku. Bak semut mereka mengerubungiku yang dianggapnya gula manis. Pagi tadi selain terlambat bangun karena tidur setelah subuh, aku harus mendapati surat dari suamiku yang kuartikan sebagai suatu sindiran. Begini bunyinya.
Sayang, mas berangkat kerja dulu ya. Tolong jaga rumah baik-baik. Jangan lupa beli kopi, udah habis tuh. Love U seperti kau mencintaiku yang tertuang dalam kopi manis buatanmu.
Selain surat sindirian itu, aku harus merasakan pahit dengan mendapati suatu potongan gambar secangkir kopi yang terlihat mengepulan uap panasnya. Aku temukan potongan gambar itu di saku kemeja suamiku yang tergantung di kamar mandi. Aku merasa geram. Bagiku semua itu tak layaknya diriku ini dianggap seperti pelayan cafe yang selalu menyuguhkan kopi nikmat. Kalau memang inginya rumah tangga seperti itu, kenapa tidak kawin saja dengan pelayan cafe atau koki minuman. Aku dongkol. Karena alasan itulah aku merasakan pahit dalam sehariku hingga sore hari tiba. Sengaja aku tak membelikan kopi yang memang telah habis. Aku lagi-lagi memilih asyik duduk dihadapan laptop, meneruskan kembali naskahku yang entah kapan akan berujung atau paling tidak pantas memiliki ujung cerita. Terdengar suara kendaraan suamiku yang dipakir di jalan depan rumah. Suara sepatu yang saling taut dengan lantai keramik. Pintu terbuka. Aku sengaja tidak menyambutnya, meski sekedar mengalihkan pandangan. Aku mulai menekan stopwatch untuk menghitung waktu. Aku dengar desah panjan suamiku. Aku sepertinya yakin ia tengah mengamatiku. Sepertinya waktu pertengkaran sebentar lagi. Aku mencoba siapkan amunisi dengan membasahi tenggorakan.
"Kau benar-benar tengah sibuk dik?" Ia bertanya seraya menghampiriku, tanganya mengusap rambutku yang sengaja ku biarkan berantakan.
"Seperti yang kau lihat" jawabku ketus.
Suamiku mendesah. Sepertinya ia tahu cara terbaik untuk menghindari pertengkaran. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Kemudian membuka beberapa kancing kemeja. Tiada suara selain bunyi keyboard yang memang aku awur menekanya.
Waktu sudah dua menit semenjak kedatanganya. Tidak ada tanda-tanda kemarahanya. Ia pun kemudian beranjak menuju dapur. Dan aku tahu apa yang akan dibuatnya. Kopi.
Ku lihat lekat-lekat stopwatch HP yang kunyalakan. Terdengar suara sendok bertaut. Kemudian terdengar suara gelas. Suara air yang dituangkan ke dalam gelas. Aku menghitung waktu dalam stopwatch.Aku menduga banyak hal. Suara bantingan atau semacamnya untuk meluapkan rasa malah. Sepi. Beberapa saat kemudian hanya wuara gorden disibak. Masih dengan nada yang terdengar kasar. Sesosok laki-laki melintas lewat samping duduku. Tanganya seperti tengah membawa sesuatu. Aku lebih beranikn mencuri pandang dengan ekor mataku. Aku terhenyak ketika mengetahui suamiku tengah membawa segelas air putih yang dengan irama kasarnya meletakan di atas meja. Betulkan jika sesuatu yang beresiko kecil, suamiku bisa meletakan gelas itu dengan irama seenakanya. Gaya lelaki.
Aku melihat dirinya. Tatapan mata kami saling bertemu. Pahit dalam bibirku lumer, ketika dengan sengaja melihat senyumnya yang begitu manis. Padahal gula masih dalam toples, padahal air putih itu murni tanpa gula. Aku menangis, kemudian memeluk suamiku yang menyambut dengan penuh kelembutan. Untuk waktu itu aku simpulkan bahwa aku sepertinya tidak perlu memikirkan harga gula yang akan terus naik.



Untuk Suamiku...Inspirasi besar dalam cerita ini

10 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar