Lingkaran Itu tak Bersudut

Rabu, 16 Februari 2011

GARIS TANGAN

GARIS TANGAN

Han seperti baru menyadari misteri besar dalam kehidupanya. Terkait dengan hal itu ia semakin sembarangan mensinkronkan nasib dalam hidupnya dengan garis telapak tanganya. Bahkan tanpa sama sekali mempelajari tentang ilmu grafologi, psikologi dan logi-logi lainya. Han begitu percaya diri menyakini kemampuanya bisa membaca dan melihat masa depan orang lain. Han, menaruh harapan itu pada feeling ketimbang dengan nalar yang menurutnya terkadang menjerumuskan. Dengan berbekal indera ke-enam yang diyakininya dengan terus mengasahnya melalui puasa 40 hari, Han merasa yakin ia akan mampu mempelajari banyak hal tentang kehidupanya sendiri dan orang lain.
Garis ditelapak tanganya menjadi fokus utama tiap harinya. Setiap bangun tidur hingga kembali tidur, Han setidaknya telah memandang garis gurat ditelapak tanganya sebanyak 40 kali.
Setiap harinya Han merasakan perubahan wujud pada telapak tanganya. Bukan perkara berubah bentuk kasar dan sebagainya. Han seperti bisa melihat garis tanganya berubah menjadi sel hidup yang terus berkembang hingga berwujud, menjadi suatu gambar yang terlihat berpola hingga terlihat memiliki makna bercerita pada Han. Apa yang dilihatnya tak begitu saja mampu dipercayai banyak orang. Cerita Han yang mengabarkan tentang kemampuanya itu dianggap seperti gurauan seorang sarjana petani miskin yang begitu terobesi pada keberhasilan. Intinya Han tengah mencoba menghibur obsesinya yang terlihat lesu karena serangan realitas dalam hidupnya.
Han adalah seorang lelaki bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang berkantong mata tebal.Rambutnya yang selalu terlihat rapi dengan minyak rambut memberi kesan kesegaran untuk wajahnya yang terlihat kusam dengan keriput disekitar matanya. Han seorang yang tampak berkarakter dengan sikapnya yang terlihat santun. Sikap santunya terlihat dari caranya berbicara pada orang yang lebih tua. Han seorang lelaki desa yang memiliki kesempatan mampu mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Sebagai pemuda desa yang tinggal di wilayah terpencil, sekolah adalah sesuatu yang masih dipertanyakan tentang manfaatnya oleh penduduk sekitar. Dengan komitmen ingin merubah kehidupan kampung, Han pun bercita-cita ingin melanjutkan sekolahnya hingga perguruan tinggi. Semua orang kampung menertawakanya, Han pun malah merasa tergugah semangatnya. Hingga satu tahun berselang,Han pun membuktikan dirinya telah diterima di perguruan negeri dengan beasiswa. Semua orang kampung pun buru-buru berhenti menertawaknya. Han berkeliling desa seraya mengangkat tinggi surat pemberitahuan dari pihak universitas.
"Dengar semuanya. sebentar lagi kampung ini akan memiliki anak desa yang berilmu tinggi. Tunggu barang empat lima tahun lagi anak desa itu akan datang dengan ilmu perikananya. Lihat saja nanti, desa ini akan menjadi terkenal karena produksi ikanya yang melimpah dan berkuliatas. Bersiaplah semuanya"
Semua penduduk kampung mengamini kata-kata Han. Mereka percaya itu adalah lantunan doa yang mesti diamini.
Namun kejadian itu sudah berlangsung sekitar lima belas tahun yang lalu. Kata tinggal kata, Han belum juga membuktikan perkataanya. Anak-anak desa pun dilarang untuk sekolah tinggi yang memang hanya membuang waktu dan energi, mending jika itu mendapatkan beasiswa. Jika tidak maka bersiaplah dengan biaya yang bisa menghabiskan satu tahun masa panen hanya untuk membayar beberap bulan pendidikan di universitas kota.
Sikap generalisasi semakin merebak. Dan Han seolah merasa bersalah untuk urusan itu.
Tahun demi tahun Han pun malah menjadi petani yang hidupnya malah jauh memprihatinkan. Bukan hanya hasil panennya yang kurang melimpah, Han hingga usianya yang empat puluh tahun belum juga mempunyai istri sebagai pendamping hidup. Sikapnya yang terkesan aneh membuat wanita-wanita menjauhinya. Han masih saja menampilkan gaya mahasiswanya ketika berbicara dengan orang dibawahnya. Semua orang mengira, Han tertindih angan-anganya yang terlalu besar. Hingga sampai waktu itu, pembicaraan Han tentang kemampuannya bisa membaca dan melihat kepribadian hingga nasib masa depan melalui garis tanganya menjadi tambahan serentetan cerita Han yang terkesa aneh.
Seperti malam hari itu, saat Han mendapatkan tugas ronda malam. Han dengan sikap ngototnya mengatakan bahwa Ia sebentar lagi akan menjadi penasehat spiritual melalui garis tangan. Semua orang tak mengacuhkan ucapan Han yang memang terkesan semakin ngawar dan amburadul.
"Garis tangan itu memiliki arti tersembunyi yang mesti dapat kita baca dan mengerti saudara. Tapi anehnya tidak semua orang bisa melakukan semua itu lantaran tidak memiliki indera ke-enam. Saudara sekalian, ketahuilah di desa ini sebentar lagi akan ada peramal untuuk urusan itu. Maka bolehlah kalian nanti datang untuk membuktikanya" Han terdengar seperti tengah berpidato. Teman-teman rondanya tak mengacuhkanya.Mereka malah berseru tentang kemenangan dan kekalahan mereka bermain kartu.
"Sial lagi..sial lagi" Tori mengertu kesal untuk kekalahanya yang ke tiga kali dalam permainan itu. Terdengar suara tawa terbahak menertawakan kekalahan Tori yang bernasib sial malam itu.
Mendengar keriuhan itu. Han berkata dengan serius
"coba ku lihat tanganmu kawan" Han mengulurkan tanganya tepat dihadapan Tori yang serentak bengong.
Karena Han berhasil menarik tangan Tori, maka dengan seksama Han kemudian melihat telapak tangan Tori dengan wajah berkerut.
"Kawan, Sepertinya kau harus bisa lebih bersabar untuk keberhasilan dalam hidupmu. Sepertinya tidak lama, tinggal nikmati saja semua kekuranganmu. Kekuranganmu hari ini hingga nanti akan terbayar dengan melimpah kawan"
Tori mencibir seraya menarik tangannya dengan kasar, diiringi tawa ledekan teman-teman lainya. Han dengan wajah terlihat serius menatap tangan Tori yang coba disembunyikan dibalik punggung. Tiga orang teman lainya masih tertawa hingga terpingkal-pingkal demi melihat kejadian itu. Semua orang tau jika Tori lelaki bertubuh pendek itu memang belum juga menemukan keberuntungan usahanya berdagang sayur-sayuran kekota. Hasilnya selama itu hanya cukup untuk makan istri dan tiga anaknya.
“serahkan saja tanganmu Tor, toh kau bisa jadi pasien pertama si Han itu” Halimun, teman satu kelompok ronda mengakhiri ucapanya dengan tertawa seraya mengusap air mata yang keluar dari mata. Tori mendesah kesal, mengerutu. Dua teman lainya cengingisan, merasa tidak tega jika harus tertawa hingga terbahak-bahak. Han malah berfikir tentang sesuatu kata yang barusan didengarnya ; PASIEN.
Hingga malam menuju puncaknya. Tori semakin dibuat kesal dengan celoteh Han yang tak kunjung berhenti mengatakan tentang indra ke-enamnya yang bisa membaca nasib dan kepribadian orang lain. Terlebih Han tanpa mau peduli mengatakan tentang sikap buruk Tori yang mesti diperbaiki diantaranya amarah dan dendam, karena menurut Han aka ada musibah besar terkait dengan potensi luar biasa Tori pada amarah dan dendamnya.
“Aku akan membaca pantangan untukmu Tor, jika saja kau mau memperlihatkan telapak tanganmu itu padaku” Han masih memperlihatkan wajah seriusnya. Tor menolak dengan mencibirkan bibirnya,.
“Baiklah Tor, terserah kau saja. Aku hanya ingin membantumu” Han menyadarkan punggungnya pada bilik papan pos ronda yang terbuat dari kayu.
HIngga waktu berlalu, Han masih belum juga mendapatkan pasien satupun yang mau mendatanginya untuk membaca nasib masa depan, membaca nasib jalan keluar permasalahan hidup dan semua perihal terkait peramalan.
Tidak hanya penduduk kampung yang merasa jengah dengan keputusan Han, Takmir masjid kampung Haji Daud pun ikut disibukan dengan keputusan Han yang akhirnya membuka “praktek” tentang dunia peramalanya.
“Ini berbeda dengan ramalan pak Haji Daud. Aku hanya ingin membantu orang yang tengah mengalami kesulitan hidup karena dalam kebuntuan jalan. Tuhan memberikan indra ke-enam untukku lantaran untuk menolong orang yang tengah tidak tahu jalan lagi”
Bapak Haji Daud pun pergi dengan mengelengkan kepala, tidak mengerti bagaimana lagi untuk memberi pemahaman untuk Han tentang perkara itu.
Menurutnya apapun itu adalah hal musyrik jika terkait dengan mempercayai perkataan orang yang bisa melihat masa depan dengan indera ke-enam. Tujuan apapun itu jika mengantungkan pengetahuan masa depan pada orang lain, adalah sama dengan musyrik pada Alloh SWT.
Han tetap berkeyakinan, jika kemampuan indera ke-enamnya adalah anugerah Tuhan yang memang tujuanya untuk menolong sesama yang tidak diberi kemampuan itu.
∞∞∞
Rumah dari papan itu tiba-tiba mendapatkan ketukan pintu keras pada pagi-pagi buta sekali. Han terjaga dari tidurya, dengan langkah sempoyangan Han menuju pintu utama depan rumah.
Tampak wajah Tori terengah-engah dengan ekspresi tegang.
“Han…Han…” Tori tampak gagap untuk mengatakan sesuatu yang terihat penting.
“ambil nafas dalam-dalam Tor, kau bisa hembuskan perlahan-lahan pula”
Han membiming Tori melakukan olah pernafasan untuk megatur degup jantung dan gerak paru-parunya. Kerongkongan Tori sebentar saja merasa longgar. Ia kemudian mengumpulkan ludah untuk mengatakan maksud kedatanganya yang mendadak dan tidak biasanya itu.
“Aku baru saja pulang dari kota menghantar barang dagangan, Han” Tori menelan ludah, mengamati Han yang tampak tenang saja.
“Seseorang tiba-tiba menawariku untuk menjual sayuran ke supermarket. Kau tentu tahu supermarket itu kan Han?” Tori belum menunjukan ia akan segera mengakhiri perkataanya.
“Harganya akan dibeli dua kali lipat dari harga jualanku di pasar”
“Dan hebatnya lagi aku ditawari lahan untuk menggarap bahan yang akan mereka pesan. Dan tidak hanya itu saja Han, mereka sendiri yang akan mengambil barang dagangan. Gila Han, ini gila” Tori tampak tidak percaya dengan ucapanya sendiri. Sepuluh tahun memutuskan jadi pedagang sayuran ke kota dengan menumpang angkutan rombangan. Tori belum juga bisa menemukan hasil yang membanggakan. Dan pagi itu ketika Tori sudah merasa menyerahkan nasib hidupnya, tiba-tiba saja mendapatkan sesuatu yang melimpah.
“Semua ini aku temui tatkal aku dua hari yang lalu aku bermimpi diingatkan kembali dengan kejadian saat ronda dulu Han” Tori mengubah ekspresinya menjadi malu.
Han membusungkan dadanya. Terbukti sudah apa yang ia lihat pada garis tanganya sendiri. Dan sepertinya sebentar lagi rumahnya akan banyak kedatangan tamu.
∞∞∞
Han menjadi sosok paling tekenal di wilayah desa tempat tinggalnya yang teletak di kaki sebuah pegunungan. Dalam kurun waktu tiga tahun, penampilan Han tampak berubah dengan pakaian sorban hitam yang terlihat sangar.Wajahnya terlihat lebih segar dan putih dengan berjanggut . Pekerjaan sehari-harinya bukan lagi petani tapi seorang pembaca nasib,kepribadian dan penasehat spiritual dalam segala urusan. Nama Han pun sampai juga ke wilayah kota. Pejabat, artis, pengusaha pun ikut berbondong-bondong mendatanginya untuk mengetahui nasibnya dan segala urusan kehidupan karir pekerjanya.
Perjalanan hingga tenarnya Han itu menyisakan kepedihan tersendiri di hati Han. Orang terakhir yang masih bersikukuh tentang prakteknya sebagai usaha musyrik adalah pak Haji Daud yang telah setahun lalu meninggal.
Han merasa terancam setelah ia membaca garis tangannya sendiri, tentang sosok yang bisa menjadi penghalang keberhasilanya. Dan persis setahun lalu, saat Han mengajak pak Haji Daud untuk berbicara empat mata di kebun milik pak Haji yang berbatasan dengan sebuah ngarai.
“Maaf pak Haji. Sepertinya memang andalah orang yang bisa menghalangi keberhasilan saya untuk menjadi manusia yang berhasil dengan indra ke enam ini” Han berbicara dengan sikap santun sebagaimana yang menjadi karekter utamanya selama itu. Mata pak Haji menyipit dan baru tersadar akan adanya bahaya tatkala ia meihat tangan Han mendorong dengan kuat-kuat tubuhnya ke ngarai bebatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar