Lingkaran Itu tak Bersudut

Sabtu, 19 September 2015

Menjemput rembulan di siang hari


Perasaan ini menawarkanku untuk menjadi rembulan.Maka aku membeli tawaranya.Begitu saja.Sebab ego dalam diriku lebih banyak berperan ketimbang nalar.
Sebagai wanita, pesona lembah lembut adalah rembulan yang tak bisa dipisahkan dari malam.Saling mengikat dan hukum itu bernama kodrat yang melekat.Namun wanita lupa bahwa pesona itu  akan pudar ketika pagi menjelang, saat fajar menyingising dari ufuk timur.Maka pesona rembulan akan seperti mimpi yang tertinggal di alam tidur.Akan kita temukan umpama itu seperti membawa air dalam telapak tangan sepanjang jalan terpanjang yang kita tempuh.
Akan kita saksikan tawa mengejek dari anak-anak hingga nenek-kakek, bila kita mengatakan akan menjemput rembulan di siang hari.Meski sesungguhnya rembulan itu memang masih ada,namun untuk waktu siang hari perihal rembulan bukanlah tempat nyata untuk membicarakanya.
Rembulan memang masih ada, ia bersembunyi di balik tirai hitam bumi, ia tersingkir dari matahari yang lebih mewibawa gagah dengan sinar terangnya.Maka ketika kita menjemput rembulan di siang hari, akan kita saksikan awan yang akan mencibir, hingga pelangi yang mencul selepas hujan pun akan terlihat mengintip untuk mengejak tingkah kita.Terlihatlah kita seperti makhluk paling kerdil yang berdiri dengan tulang yang rapuh, secara perlahan tulang itu terlepas dari badan, kemudian menjadi debu dan tertiup angin dan dilupakan.Menjadi debu.
Tidak ada yang salah berbicara rembulan di siang hari, tidak ada yang salah menjemput rembulan di siang hari.Tidak ada.Semua itu terletak dalam seberapa jauh kesabaran kita.Jika kita mampu bertahan hingga malam hari untuk menunggu, maka tidak ada yang salah jika kita menjemput rembulan di siang hari.Maka yang salah sesungguhnya mulut yang mencibir kesabaran kita dalam menunggu.