Lingkaran Itu tak Bersudut

Senin, 26 Maret 2012

antara pergantian

Setidaknya,  hidup ini telah mengajari kita pergantian. Maka setidaknya kita bisa memahami bahwa hidup ini bukanlah bercerita tentang kisah monotonnya kebahagiaan. Tidak dipungkiri, manusia bekerja keras dengan tujuan utama dan mendasar adalah mencari kebahagiaan. Kebahagiaan sepertinya telah menginspirasi banyak orang untuk berkarya, dan seperti sebuah hukum z: kebahagian menjelma menjadi kebiasaan ukuran menilai arti kehidupan. Namun seharusnya kita tidak melupakan, bahwa hidup ini adalah pergantian. Malam dan siang, lapar dan kenyang, sedih dan suka, muda dan tua, bayi dan dewasa. Pelajaran itu di depan mata kita, setiap hari bahkan setiap detik kita melihatnya. Namun kita sering melupakan, atau justru enggan memahami.
Kehidupan adalah realita, realita lah yang membawa manusia pada fatamorgana. Penyesatan yang paling membuat manusia kebingungan adalah ketika manusia tidak mampu membedakan. Begitulah, sejatinya kehidupan ini penuh pelajaran yang bisa diambil untuk dijadikan dasar pedoman. Menggapai kebahagiaan memang tujuan, tapi kita harus tahu bahwa kebahagian itu tidaklah monoton seputar kebahagian yang menurut pendapat  kita seputer kenikmatan yang lezat semata. Tiada kebahagian tanpa suatu pengorbanan. Dan sebaik-baik pengorbanan adalah ketika kita mampu berbagi dengan sesama. Karena bagaimanapun berbagi adalah kepuasaan yang pada titiknya menjadi muara kebahagian.(Terlepas dari sikap ketamakan akan sanjungan).
Begitulah kita diajarkan.

Sabtu, 17 Maret 2012

Hak dan Kewajiban

        Betapapun banyaknya hak yang kita miliki. Toh pada akhirnya berujung pada banyaknya kewajiban yang harus kita jalani. Hidup adalah hak setiap manusia, tentu saja manusia akan menerima sangksi ketika ia mencabut hak hidup manusia lainya (membunuh misalnya). Jika kita berbicara hak, maka ada kewajiban di sana yang juga harus kita penuhi. Hak ibarat sebuah upah dari kerja keras. Maka kewajiban bisa diartikan sebagai bentuk kerja yang harus dipenuhi untuk bayaran hak pada akhirnya. Menuntut hak adalah bentuk kewajaran yang terjadi di dalam setiap kehidupan manusia, ketika hak itu tidak diperolehnya atau dirampas oleh manusia lainya. Seperti pekerja yang menuntut hak upah gajinya yang tertunda atau bahkan dibawa kabur oleh majikanya. Contoh lainya seperti rakyat yang menuntut pemerintah meminta haknya atas pajak yang telah dibayarkan untuk urusan pembangunan negara yang akhirnya tertunda atau bahkan dikorupsi. Begitulah, permasalahan penuntutan hak adalah permasalahan yang sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu.
Namun, bagaimana jadinya jika timbul suatu perkara yang mengatakan tentang penuntutan kewajiban?.
Maka perlu beberapa waktu untuk memahami tentang hal itu.Sepertinya hal itu memang bukan hal yang harus dibicarakan. Ibarat manusia yang menuntut kewajibanya untuk tidak dicabut, atau bahkan di tambahkan lagi. Hal itu terasa aneh dan asing memang di telinga dan fikiran itu. Karena hanya beberapa manusia saja yang kiranya bisa berfikir hingga melakukan hal itu. 
      Tidak hanya manusia yang memiliki hak dan kewajiban atas kehidupanya. Tuhan sendiri pun memiliki hak dan kewajiban atas manusia itu sendiri. Tuhan punya "kewajiban" memelihara seluruh manusia atas kehidupan yang diberikanNya. Begitupun Tuhan, punya hak atas diri manusia untuk disembah, dijalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Jika kita kaji lebih dalam lagi, maka kita bisa menyimpulkan. Bahwa sesungguhnya kehidupan ini adalah bentuk cerita bagaimana manusia menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya sebaik mungkin tak lepas atas peranan Tuhan yang memiliki bentuk hal yang sama namun dengan konteks yang berbeda.
      Menjalankan kewajiban dan mengunakan hak tanpa pijakan dan pedoman yang tepat, sesungguhnya merupakan kesesatan yang nyata. Bagiamana tidak, jika kita terlalu berlebihan mengatasnamakan hak yang sebenarnya bentuk protes pada Tuhan. Kita mudah mengatasnamakan hak berdasar diri kita sendiri sendiri. berdasarkan kenyamanan kita sendiri, berdasarkan kemauan kita sendiri. Bila ada seorang ibu yang berkata pada seorang hakim yang tengah mendakwanya dengan penganiayaan pada anaknya sendiri. Bahwa anaknya adalah haknya, ialah yang telah melakukan kewajiban melahirkan, memberi makan dan minum, tempat tinggal, hingga kewajiban mendidiknya sebagai seorang manusia dan seabreg kewajiban lainya. Anaknya adalah anaknya, bukan hakin atau tetangganya yang telah melahirkan dan mengurusinya. Apa hak seorang hakim menjatuhkan hukuman atas dirinya.
Begitu kira-kira argumentasi yang terkesan pintar dari seorang ibu yang telah menganiya anaknya sendiri karena telah melanggar perintahnya.
Apa juga yang terjadi, ketika manusia mengunakan tubuhnya untuk di eksploitasi pada bentuk kejahatan. Mereka beragumen bahwa itu adalah hak pada dirinya sendiri, tidak ada urusan dengan orang lain. Sungguh mereka lupa, bahwa mereka juga punya kewajiban melindungi orang lain, kewajiban memberi contoh kebaikan pada orang lain. Sejauh ini hanya manusia yang percaya akan  Tuhan yang setidaknya mau menerima meski belum mampu melaksanakanya.
Hak dan kewajiban adalah seperti sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika pun dipisahkan maka hal itu tidak memiliki arti sebagai uang.
Kita memang terlalu sering membicarkan hak kita, tanpa sadar kita lupa akan kewajiban kita. Kita lupa atau kita benar-benar tidak tahu?.Kita mengerti atau kita sebenarnya masih bodoh sekali? jawaban itu ada pada diri kalian sendiri.

Pendekar perang

                 Katakanlah dia seorang pahlawan dengan predikat seorang pendekar. Membawa senjata ampuh bermata tajam hingga senjata rahasia yang mematikan. Pekerjaanya adalah perkelahian yang bertujuan untuk menumpas kejahatan. Gelar tertingginya adalah seorang panglima jendral perang. Kekuatan utamanya terletak pada mengasah kekuatan latihan gerak perkelahian. Jika di China itu dikatakan kungfu, di Indonesia ada nama pencak silat. Sebenarnya sama saja, latihan fisik untuk suatu bentuk perlawanan fisik. Perkelahian. Jika di zaman sekarang orang-orang modern belajar bela diri, mereka beralasan untuk menjaga diri akan kejahatan yang marak terjadi. Sebagaimana seorang wanita dengan profesi guru, profesi sekertaris, profesi SPG, hingga profesi ibu rumah tangga banyak yang berbondong-bondong mendatangi tempat pelatihan kungfu, pencak silat, wushu dllnya, mereka beralasan dengan kuat untuk benteng perlawanan atau ajang untuk olahraga menjaga kebugaran dan bentuk tubuh mereka.
Alasan itu banyak yang membenarkan, terlebih pada point yang terakhir.

                Manusia cinta kedamaian, tapi banyak yang bilang mengapa menciptakan senjata perang. Begitu pula dengan sejarah lahirnya pencak silat, kungfu dan semacamnya. Jika manusia cinta ketentraman, maka mengapa menciptakan latihan "perang". Benarkah semua itu diciptakan tatkala manusia lebih dulu mengenal kejahatan?. Atau mungkin, karena manusia terlalu waspada untuk menjaga diri guna mempertahankan kehidupanya dari kejatahan orang lain?. Sejarah lahirnya pencak silat hingga kungfu sebenarnya berawal dari keterpaksaan. 
Semua bisa disimpulan begitu. Bagiamana tidak, jika kita belajar dari sejarah. Maka yang terlintas pertama kali ketika mengingat sejarah masa lalu kehidupan manusia adalah peperangan, perebutan kekuasaan, penyebaran pemahaman hingga perebutan kekayaan. Peperangan menghancurkan segalanya, menindas mansuia yang merasa dirinya berhak atas apa yang dirampas oleh manusia lainya. Hingga akhirnya mereka terpaksa melawan sesamanya. Mereka membuat pengembangan macam-macam senjata karena terpaksa, mengembangkan latihan perang (kungfu, pencak silat dll) juga karena terpaksa.
Bagiamanapun, manusia tidak ingin hidup dalam penindasan, penjajahan. Mereka membentuk pencak silat hingga kungfu semata-mata karena terpaksa. Sesungguhnya perang dan kejahatan lah yang mengajari mereka. Jadi kejahatan sesungguhnya lebih mereka kenal lebih akrab ketimbang kebaikan. Sebab dari itulah pencak silat hingga kungfu lahir dengan gerak yang semakin berkembang berbagai gerak dan kelincahanya. Begitupun senjata perang yang semakin dikembangkan kecangihanya. Manusia belajar bahwa kejahatan hanya bisa dilawan dengan perang.
Maka banyak yang mengatakan, bahwa gelar kegagahan tertinggi manusia adalah panglima perang. Sesungguhnya semua itu tergantung dari setiap pandangan.